Mohon tunggu...
Andri Setiawan
Andri Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku Membaca Maka Aku Ada

Kemampuan terbesar manusia adalah bergosip dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akulturasi Budaya Bangsa Arab sebagai Bangsa "Jahiliyah"

26 April 2021   08:43 Diperbarui: 26 April 2021   09:46 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini, jika anda membicarakan Islam artinya anda juga membicarakan Timur tengah termasuk negara-negara di dalamnya. Hal ini disebabkan identifikasi dari Timur tengah adalah negara-negara basis Islam, meski tidak sinonim sulit memisahkan pembahasan antara keduanya, karena Islam berkembang di wilayah Timur tengah dan keemasan Islam pada masa lampau terletak di wilayah-wilayah Timur tengah. Tetapi menilai kebenaran ajaran Islam dan kemajuannya pada Timur tengah tentu bukan penilaian yang tepat, karena Islam tidak hanya berkomunikasi dengan bangsa Timur tengah, Islam berkomunikasi dengan bangsa manapun dan melakukan sebuah proses akulturasi budaya yang sangat menarik. Islam membaur dengan budaya Persia Iran, membaur dengan peradaban Mesir kuno, berkomunikasi dengan kekuatan Mesopotamia kuno di dataran rendah Irak atau berkonsultasi dengan Hellenisme yang disebarkan Alexander Agung dan melebur mendekati Eropa bersama pemikiran Yunani. 

Peleburan budaya dan akulturasi ini takkan pernah terrealisasi tanpa kekuatan Bangsa Arab. Islam takkan pernah berjaya dan mencapai masa keemasan jika Bangsa Arab memilih untuk mengeksklusifkannya. Ekspansi Islam keluar dari Jazirah Arab dan merambah wilayah-wilayah lainnya berhasil mempopulerkan Islam dan ajaran-ajarannya serta berhasil menunjukkan identitas Bangsa Arab. 

Tetapi masa lalu bangsa Arab sebagai bangsa Jahiliyah cukup menghantui penilaian-penilaian di luar Arab terhadap bangsa Arab itu sendiri. Kondisi Bangsa Arab sebelum Islam datang, dikisahkan merupakan Bangsa Jahiliyah, bangsa yang seakan-akan tidak punya norma dan aturan. Bangsa yang seakan-akan tidak punya intelektualitas dan berada dalam titik nadir.

Adalah Abdurrahman al-Bazzaz yang dengan lantang menyatakan bahwa kondisi jahiliyyah yang digambarkan sejarahwan dengan kondisi yang begitu nista tersebut adalah kesalahan besar, gambaran keburukan- keburukan yang bertubi-tubi dengan maksud mengagungkan dan menunjukkan kehebatan Nabi itu terlalu didramatisir. Akibatnya, setelah Nabi Muhammad wafat, bangsa lain dapat dengan mudah menyerang bangsa Arab dan menuding sebagai bangsa yang tidak beradab.

Al-Bazzaz bahkan beranggapan bahwa penulisan sejarah tersebut ditulis oleh orang-orang Persia untuk melegitimasi politiknya, yang didasari oleh semangat golongan (shu'ubiyah), yaitu suatu gerakan dari orang-orang muslim non Arab untuk menangkal kecenderungan Arabisasi. Perlu diketahui dalam sejarah politik Islam, ada semangat-semangat primordialisme yang melakukan tarik-menarik untuk menguasai pemerintahan. Semangat primordialisme suku Quraisy yang diwakili oleh Dinasti Abbasiyah, primordialisme Arab non Quraisy yang diwakili oleh kekuatan keluarga Bani Umayyah, dan di luar Arab, muncul kekuatan Persia dan juga kekuatan Turki. 

Kemajuan dinasti Abbasiyah di awal periode pemerintahannya yakni sekitar tahun 132 H/750 M sampai dengan 232 H/ 945 M, berada dalam pengaruh Persia. Pengaruh ini didapat melalui pernikahan asimilasi antara bangsa Persia dan Arab, Juga karena ibu kota pemerintahan terletak di Baghdad dekat Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Adapun Dinasti Turki Utsmani menurut Bernard Lewis merupakan dinasti terakhir Islam, dalam hal ini dinasti dimaknai dengan kepemimpinan atas nama Khalifah atau Sultan yang berbentuk monarchi. Setelah Turki praktis dunia kekuasaan Islam terpecah belah menjadi dinasti-dinasti kecil atau menjadi Negara-negara berdaulat dengan sistem pemerintahan yang berbeda dengan dinasti.

Khilafah merupakan salah satu tema pokok yang dikaji dan diperbincangkan. Bahkan, wacana khilafah telah menjadi topik khusus yang diperdebatkan di kalangan politisi hingga saat ini. Pengusung gerakan Khilafah selalu dianggap sebagai kelompok radikal, ekstremis, atau fundamentalis yang anti-nasionalis dan anti demokrasi. Khilafah dipandang sebagai ancaman terhadap kekuasaan negara-negara bangsa. Hal ini dapat dimaklumi karena institusi Khilafah Islamiyah atau Kerajaan Allah adalah institusi kekuasaan yang trans-nasional, rahmatan lil 'lamn. Ketakutan dan kecurigaan terhadap konsep Khilafah muncul akibat gagal memahami Din Al-Islam dan gagal memahami ayat-ayat Allah tentang Khilafah. Mereka --orang-orang yang fobia Khilafah, berpandangan bahwa Islam adalah sebuah agama yang tidak mengatur soal politik (kekuasaan). Mereka menyangka Al-Quran tidak berbicara soal politik (kekuasaan) dan tidak ada penjelasan rinci tentang tata aturan bernegara di dalamnya.

Mereka berpandangan sekuler dalam melihat hubungan Islam dan kekuasaan (negara). Dalam pemikiran politik Islam, sejak zaman klasik hingga zaman modern, berkembang tiga paradigma tentang relasi agama (Islam) dan politik (negara; khilafah). Pertama, kesatuan konsep agama (Islam) dan politik (negara; khilafah). Islam dipandang sebagai agama dan politik sekaligus atau yang sering disebut dengan ungkapan, "Islam adalah agama dan negara" (al-Islm dn wa daulah). Kelompok ini melihat Islam sebagai dn totalitas --dalam pengertian meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik (kekuasaan). Khilafah adalah institusi politik dan keagamaan sekaligus. Kedua, agama (Islam) dan politik (dalam wujud negara) memiliki hubungan simbiosis, yakni berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga, bersifat sekularitas. Paradigma ini menolak, baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiosis antara agama dan khilafah atau negara. Islam dan politik adalah dua aktivitas yang terpisah dan tidak ada relasi di antara keduanya. Paradigma ini memandang tidak adanya aturan baku soal teori negara dan sistem kekhalifahan dalam Islam, sembari mengingkari fakta-fakta sejarah peradaban Islam dan menolak pendasaran negara pada Islam (negara Islam).

Seperti halnya al-Bazzaz, Muhib al-Din al-Khatib seorang muhaqqiq dan penulis syarh buku-buku Islam klasik berpandangan bahwa bangsa Arab memang berada dalam kondisi "jahiliyyah", tetapi mereka juga punya peradaban. Untuk memperkuat asumsinya ini, al- Khatib mengutip hadis oleh Bukhari; Rasulullah bersabda, "Kamu mendapati manusia itu seperti barang; mereka yang terbaik pada masa jahiliah adalah juga yang terbaik pada masa Islam, kalau mereka mengerti". Yang dapat dipahami dari sabda Nabi itu ialah bahwa orang-orang Arab itu memang memiliki kualitas yang tinggi, bagaikan seperti emas, sehingga jika mereka berharga sebelum, maka mereka pun berharga pula sesudah Islam. Kemudian al- khatib menjelaskan, tidak dapat diragukan bahwa Bangsa Arab adalah penyembah berhala. Tetapi, mana dari kalangan bangsa-bangsa yang ada pada waktu Islam muncul, yang bukan penyembah berhala dalam berbagai pengertiannya? Bahkan sesungguhnya orang-orang Arab adalah yang paling akhir menjadi penyembah berhala. 

Adapun sebelum menyembah berhala, al-Khatib berpendapat bahwa bangsa Arab menganut faham al-Hanifiyyah, yakni ajaran monotheisme Arab peninggalan Nabi Ibrahim. Sedangkan praktek menyembah berhala yang terjadi kemudian pada mereka itu tidak menghasilkan kuil, pendeta atau pun benda-benda ornamental keagamaan, sehingga dari kalangan semua bangsa di muka bumi orang-orang Arab itulah yang paling dekat kepada agama fitrah. Karena itulah mereka berhak atas pujian Tuhan kepada mereka dalam surah al-Baqarah ayat 143, "Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian ini golongan penengah, agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian ummat manusia, sebagaimana Rasul menjadi saksi atas kamu ..."

Wincler-Caetani mengatakan bahwa Jazirah Arab hakikatnya adalah daerah yang subur dan merupakan tanah air pertama bangsa Semit. Namun setelah ribuan tahun, kekeringan melanda daerah tersebut dan menyebabkan timbulnya krisis kelebihan penduduk tanpa hasil alam yang mencukupi, konsekuensinya berulang kali terjadi keadaaan saling serbu antar negeri tetangga suku bangsa Semit ini. Krisis-krisis ini yang mendorong bangsa Syria, Aramaik, Kan'an dan bangsa Arab sendiri memasuki daerah 'bulan tsabit yang subur'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun