Di tepi Sungai Lumalang, Desa Bojonegara, Kabupaten Serang, Samun duduk di atas jok motornya. Matanya tertuju pada perahu kayu berwarna merah yang terapung di atas air hitam pekat.
"Dulu, kapal cukup berlayar setengah jam, sudah bisa dapat banyak ikan," katanya. "Sekarang harus sampai Pontang, bahkan Karangantu, dengan waktu tempuh tiga jam," ujarnya, Sabtu Sore, 10 Agustus 2025.
Perubahan itu, kata Samun, bermula ketika PT Samudra Marine Indonesia (SMI) memperluas kawasan industri di pesisir Bojonegara. Gunung dikeruk, tanahnya diangkut ke laut, menimbun bibir pantai yang dulu menjadi halaman depan kampung nelayan.
Reklamasi berlangsung bertahun-tahun, mengubah garis pantai dan merusak ekosistem laut. Hutan bakau, tempat ikan bertelur dan mencari makan terkubur di bawah hamparan tanah urugan.
Bagi nelayan seperti Samun, ketika lokasi tangkap ikan semakin menjauh, itu berarti ongkos melaut membengkak. "Solar dan bensin lebih banyak. Sementara hasilnya tidak sebanding," katanya.
Kampung Lumalang kini bagai terkurung. Satu-satunya jalur menuju laut adalah menyusuri Sungai Lumalang, disebut juga Kali Asin yang kian menyempit, diapit aktivitas industri SMI 1 dan SMI 2.
Samun menunjuk ke arah jembatan layang menuju SMI 1. "Dulu, ombak itu tak jauh dari jembatan itu. Sekarang, semua sudah diurug. Coba hitung, berapa luas laut yang hilang?"
Keluar dari muara sungai, tantangan nelayan bukan lagi ombak atau badai, melainkan pagar-pagar raksasa jetty dan deretan kapal tongkang. Perairan Bojonegara kini dipadati lalu lintas kapal industri yang membatasi ruang gerak perahu kayu kecil.
Mastari, nelayan lain, mengaku nyaris tak pernah merasakan manfaat dari kawasan pelabuhan dan industri raksasa di kampungnya.