Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Buah Pena Pertama Kami Sudah di Depan Mata

4 Februari 2021   21:50 Diperbarui: 4 Februari 2021   22:21 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tepat Kamis, 4 Februari 2021 buku antologi perdana Sahabat Pena Kita Tulungagung (SPK-TA) yang berjudul Membumikan Literasi Secuil Kontribusi untuk Memajukan Negeri telah berhasil dicetak. Semenjak tadi siang buku-buku tersebut telah nangkring di kantor LP2M IAIN Tulungagung. Selanjutnya, buku-buku tersebut akan menemukan tuannya masing-masing. Selebihnya, baik-buruk nasib mereka kurang-lebih bergantung pada perlakuan tuannya.

Tentu ini adalah kabar gembira bagi kami semua selaku orang tua yang berhasil memperjuangkannya. Ucapan terima kasih tak terhingga kami sampaikan kepada Prof. Naim yang telah menjadi "nahkoda" kami, pula kepada pihak Sahabat Pena Kita Pusat yang telah menjadi "dokter" dalam proses persalinan "anak pertama" (red; buku antologi perdana) kami ini. Dari mulai mendesain cover, mendaftarkan nomor ISBN hingga mencetaknya menjadi satuan eksemplar buku yang berupa dan berwujud.

Meski demikian, saya yakin bahwa euforia kelahiran anak pertama ini tidak hanya disambut dengan suka cita oleh semua anggota SPK semata melainkan disambut baik pula oleh para pecinta. Maksud para pecinta di sini yakni pecinta buku, penggiat literasi sampai dengan khalayak ramai yang telah bersedia mengapresiasi; membeli dan mengoleksi. 

Besar harapan saya, tentu apresiasi terhadap anak pertama kami ini tidak sekadar berhenti pada level membeli dan mengoleksi melainkan terus belanjut hingga ada beberapa orang yang berusaha membedahnya (mereview) guna memberikan masukan dan mengkritisi. Setidaknya, jalan itu mampu menjadi barometer tersendiri dalam beberapa hal; 

Pertama, dengan mereview buku tersebut kita bisa mengetahui di mana letak celah-celah kekurang itu bersembunyi. Adakalanya kesalahan tetap ada meskipun naskah itu telah ditinjau berpuluh-puluh kali oleh ribuan mata. Utamanya bila mengingat, penulis ataupun editor bisa saja keseleo jari dan kurang teliti. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan ditemukannya kekurangtepatan dalam menulis karakter abjad, ejaan kata, kesesuaian dengan KBBI, cara mengutip sampai dengan bagaimana memperlakukan bahasa asing. Sudah barang tentu ini adalah PR bersama yang harus dibenahi. 

Bagi saya, celah-celah kekurang dalam suatu karya itu tentu sangatlah wajar. Kewajaran yang mungkin tidak pernah bisa dilepaskan dari hakikat manusia yang mahlul khota' wa nisyan. Maka atas dasar itu pula niscaya tidak ada karya manusia yang luput dari ketidaksempurnaan. Karena bagaimanapun justru karya itu lahir dari tangan-tangan terampil yang berusaha mengatasi kekurangan itu sendiri. 

Kedua, masukan dan kritikan itu tidak lain adalah amunisi untuk mengukur kualitas diri. Terlebih lagi, syukur-syukur kalau ternyata itu menjadi catatan tersendiri bagi para penulis yang berkontribusi. Satu upaya yang diharapkan untuk mengevaluasi kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Tahapan evaluasi dan koreksi ini sangat penting dilakukan untuk meninjau sejauh mana perkembangan potensi, sehingga di lain waktu catatan ini menjadi bekal untuk meningkatkan kualitas diri.

Kualitas diri dalam berliterasi ini tentu harus ditempa dan dipacu setiap waktu. Tidak cukup jika hanya mengandalkan analisa dan evaluasi yang dilakukan oleh diri sendiri sebagai penulisnya. Keterlibatan sudut padang orang lain untuk menilai, mengoreksi, mengkritik dan memberi saran menjadi ruang lingkup tahapan evaluasi dalam upaya meningkatkan kemampuan. Terlebih lagi, jika orang lain itu adalah mereka yang paham akan seluk-beluk perihal dunia literasi. 

Ketiga, kritikan yang tajam atas rentetan kekurang itu setidaknya akan membangun mentalitas kita untuk benar-benar menjadi seorang penulis. Dari sekian banyak sikap yang menunjukkan seperti apa mentalitas seorang penulis, bersikap legowo (terbuka) adalah salah satu contoh cerminan mentalitas yang harus dimiliki oleh seorang penulis. 

Legowo dalam hal apa? Legowo dalam hal siap menerima kritikan pedas dari berbagai pihak dan sumber apa pun. Melalui kritikan pedas itu setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana respon orang lain atas pembacaan karya kita. Kritikan itu muncul bukan tanpa alasan, justru dibangun atas dasar adanya perhatian penuh dan kesadaran. Satu jembatan yang kemudian turut menerjemahkan di mana cara berpikir dan sudut pandang kita berpijak. 

Tidak hanya itu, justru karena adanya mentalitas legowo ini pula yang menjadikan ilmu pengetahuan berkembang. Jika saya menganalogikannya dengan meminjam istilah Karl Raimund Poper, "falsifikasi " atas pengetahuan itu menghasilkan tesis-antitesis-sintesis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun