Janji yang Menggoda, Realita yang Membebani
Setiap kali pemerintah mengumumkan kebijakan subsidi, publik biasanya menyambut dengan perasaan lega. Kata "subsidi" terdengar manis, seolah negara sedang mengulurkan tangan, membantu meringankan beban hidup rakyat. Harga bahan bakar dibuat lebih murah, tarif listrik ditahan, bahkan gas 3 kg dijual jauh di bawah harga pasar. Janji yang sederhana: rakyat tidak perlu terlalu susah karena negara peduli.
Namun, di balik kata yang menenangkan itu, tersimpan kenyataan yang lebih rumit. Subsidi tidak selalu hadir sebagai berkah, kadang justru menjadi beban. Ia bisa menjadi ilusi manis yang menutup masalah mendasar: salah urus pengelolaan kekayaan negara, ketidakadilan distribusi, dan ketergantungan rakyat pada janji-janji sesaat.
Subsidi dalam Perspektif Publik
Bagi banyak orang, subsidi dipahami sebagai hadiah. Negara dianggap bermurah hati, mengorbankan anggaran demi rakyat kecil. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, dana subsidi bukan datang dari langit. Itu berasal dari pajak, dari penjualan sumber daya alam, bahkan dari utang yang kelak harus dibayar kembali.
Dengan kata lain, rakyat sejatinya hanya menerima sebagian kecil dari haknya yang sesungguhnya. Namun karena dibungkus dengan kata "subsidi", rakyat merasa sedang diberi kemurahan hati. Inilah kesalahpahaman besar yang terus dipelihara: rakyat diposisikan sebagai penerima belas kasihan, padahal mereka adalah pemilik sah kekayaan negeri.
Beban Nyata di Balik Subsidi
Kenyataannya, anggaran subsidi sering menjadi momok dalam pembahasan APBN. Ia disebut membebani keuangan negara, sehingga harus dikurangi atau dialihkan. Ketika harga minyak dunia naik, subsidi dipotong. Ketika defisit membengkak, subsidi lagi-lagi dipangkas. Rakyat akhirnya tetap merasakan beban: harga barang naik, ongkos hidup melambung, sementara alasan pengurangan selalu sama---anggaran tak cukup.
Lebih menyedihkan, subsidi tidak jarang salah sasaran. Laporan demi laporan menunjukkan bahwa LPG 3 kg misalnya, lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah, bahkan industri, dibandingkan rakyat miskin yang seharusnya menjadi target. Subsidi BBM pun kerap menguntungkan mereka yang memiliki kendaraan pribadi, sementara rakyat kecil hanya mendapat remah-remah. Dan di balik semua itu, subsidi sering dijadikan alat politik: manis di tahun pemilu, pahit setelahnya.