Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Budaya Multitasking VS Deep Work dalam Perspektif Islam

30 September 2025   17:45 Diperbarui: 30 September 2025   18:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita hidup di zaman yang serba cepat. Notifikasi ponsel berdenting hampir setiap menit, rapat berlapis-lapis, tugas datang bersamaan. Banyak orang merasa bangga bisa multitasking—mengerjakan banyak hal sekaligus. Namun, penelitian modern menunjukkan sebaliknya: multitasking justru membuat otak cepat lelah, hasil kerja dangkal, dan kualitas menurun.

Sebaliknya, ada konsep yang kini kembali populer: deep work, yaitu bekerja dengan fokus penuh, bebas dari distraksi, untuk menghasilkan karya bermutu tinggi dan bertahan lama. Konsep ini dianggap modern, padahal jauh sebelum istilah itu dikenal, para ulama Islam dan para ilmuwan telah mempraktikkannya. Dari ruang belajar yang sunyi, dari laboratorium yang sederhana, lahir karya besar yang membentuk peradaban.

Multitasking: Sibuk Tapi Kosong

Multitasking menciptakan kesan produktif. Kita merasa hebat ketika mengetik sambil membuka media sosial, atau rapat sambil membalas pesan. Namun otak manusia tidak mampu memproses banyak tugas kompleks sekaligus. Setiap kali berpindah fokus, ada energi mental yang terbuang.

Akibatnya, pekerjaan menjadi setengah-setengah, stres meningkat, dan daya ingat melemah. Multitasking adalah ilusi produktivitas: tampak sibuk, tetapi miskin kedalaman.

Deep Work dalam Tradisi Ulama

Sejarah Islam penuh dengan teladan deep work. Para ulama hidup sederhana, disiplin, dan menghindari distraksi. Imam Syafi’i menulis ratusan karya fiqih dan ushul fiqih meski hidup dalam keterbatasan. Imam al-Ghazali dengan konsentrasi penuh menyusun Ihya’ Ulumuddin, sebuah ensiklopedia akhlak dan tasawuf yang masih menjadi rujukan hingga hari ini.

Contoh yang lebih dekat adalah Buya Hamka. Ironisnya, beliau justru menuntaskan karya besarnya, Tafsir al-Azhar sebanyak 15 jilid, ketika dipenjara pada masa Orde Lama. Dalam keterbatasan ruang dan kebebasan, beliau menemukan “ruang sunyi” untuk fokus menulis tanpa gangguan. Buya Hamka sendiri mengakui, seandainya tidak dipenjara, mungkin tafsir itu sulit diselesaikan karena kesibukan dakwah dan sosial. Penjara yang seharusnya menjadi belenggu, justru menjadi ladang deep work yang melahirkan warisan abadi.

Deep Work dalam Sains dan Teknologi

Prinsip serupa terlihat dalam dunia penelitian. Banyaknya karya hasil riset para ilmuwan jelas lahir dari kerja keras yang luar biasa. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun di laboratorium dengan fokus total.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun