Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke kampung halaman istri di sebuah desa Lereng Gunung  Sumbing di Magelang, Jawa Tengah. Suasananya asri, udaranya sejuk, dan satu hal yang sangat mencuri perhatian saya adalah ketersediaan air bersih yang melimpah. Di desa itu, warga hanya membayar iuran Rp50.000 per tahun untuk kebutuhan air. Air mengalir siang dan malam, tanpa pernah ditutup, tanpa antrean, tanpa keruh. Semua warga bisa menggunakan air sepuasnya: untuk minum, mencuci, bertani, bahkan mengisi kolam. Dan semua berjalan lancar karena sumber air berasal langsung dari pegunungan, dikelola secara kolektif dan gotong royong oleh warga.
Saya tercengang. Karena di tempat tinggal saya sekarang, di Garut, Jawa Barat, tagihan air dari PDAM bisa mencapai Rp200.000 hingga Rp250.000 per bulan, bahkan tetangga ada yang tembus Rp400.000 hingga Rp500.000. Ironisnya, air hanya keluar dua hari sekali. Di saat yang sama, tetangga saya yang menggunakan air bor swadaya masyarakat hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp25.000 sampai Rp35.000 per bulan untuk pemakaian air yang lebih stabil. Saya pun bertanya-tanya dalam hati: mengapa air dari negara justru lebih mahal dibanding air dari rakyat sendiri?
Negara dan Fungsi Pelayanan Publik
Dalam pemahaman dasar kita tentang pemerintahan, negara hadir untuk melayani masyarakat, bukan untuk memperjualbelikan kebutuhan dasarnya. Air, sebagaimana halnya kesehatan dan pendidikan, seharusnya menjadi bagian dari hak publik yang dijamin oleh negara---bukan dijadikan sumber pemasukan atau komoditas bisnis.
Namun, kenyataan yang kita temui di lapangan menunjukkan gejala sebaliknya. PDAM tak ubahnya seperti perusahaan dagang yang mematok tarif tanpa memperhatikan kualitas dan kontinuitas pelayanan. Rumah sakit pemerintah pun kini didorong menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). Bahkan listrik dan BBM, yang sebagian besar dikelola oleh perusahaan negara, juga dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada biaya produksinya.
Dari Pelayan Menjadi Pedagang?
Pergeseran orientasi ini patut menjadi perhatian bersama. Ketika institusi negara lebih sibuk menghitung untung-rugi daripada memikirkan kesejahteraan rakyat, maka sesungguhnya telah terjadi pergeseran paradigma dalam mengelola negara.
Pemerintah daerah maupun pusat memang memiliki kebutuhan anggaran yang besar. Tapi apakah pantas kebutuhan dasar rakyat---seperti air bersih---dijadikan ladang pemasukan? Apakah adil jika rumah sakit umum milik daerah menetapkan biaya seperti rumah sakit swasta, hanya demi mengejar target PAD?
Jika semua layanan publik dijalankan dengan prinsip bisnis, apa yang membedakan negara dari korporasi?
Kebutuhan Dasar: Hak atau Dagangan?
Air adalah kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Begitu pula listrik, bahan bakar, pendidikan, dan layanan kesehatan. Dalam logika publik, semakin mendasar suatu kebutuhan, semakin besar tanggung jawab negara untuk menjaminnya. Bukan sebaliknya, justru dijadikan sumber pungutan.
Dalam tradisi Islam, bahkan Rasulullah pernah menegaskan:
 "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi)."
(HR. Abu Dawud)
Pesan ini sangat jelas: air bukan untuk diperjualbelikan dengan orientasi laba, melainkan harus diakses semua orang secara adil. Jika rakyat bisa mengelola air dengan efisien dan murah secara swadaya, mengapa negara yang memiliki sumber daya lebih besar justru tak mampu melakukan hal yang sama?
Refleksi untuk Kita Semua
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan pihak tertentu. Namun, kita semua perlu merenung: apakah arah kebijakan publik kita sudah benar? Apakah masih sesuai dengan semangat konstitusi, dengan nilai keadilan, dan yang paling penting---dengan hati nurani sebagai pemimpin dan rakyat?
Pemimpin yang baik tidak akan merasa puas hanya dengan membangun infrastruktur atau mencatat surplus APBD. Pemimpin yang baik adalah yang hadir di tengah rakyatnya, memastikan air mengalir ke rumah warga tanpa memberatkan kantong, memastikan layanan kesehatan tidak menjadi momok biaya, dan memastikan pendidikan bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Penutup: Mengembalikan Fungsi Negara
Kita semua mendambakan negara yang hadir sebagai pelayan, bukan pedagang. Negara yang menjaga dan mencukupi kebutuhan dasar warganya, bukan memanfaatkan kebutuhan itu sebagai sumber keuntungan. Semoga dari persoalan sederhana seperti tagihan air, kita bisa memetik pelajaran yang besar. Bahwa kesejahteraan rakyat bukan ditentukan oleh besarnya tarif, tapi oleh keadilan dan keberpihakan dalam kebijakan.