Mohon tunggu...
MamikSriSupadmi
MamikSriSupadmi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Anggota Bank Sampah Desa. Anggota Fatayat Muslimat NU Ranting

Selanjutnya

Tutup

Nature

Iuran Sampah Pasar dan Kering Keringat Tukang Sapu

19 September 2021   08:02 Diperbarui: 19 September 2021   08:06 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pasar didesaku rutinitas keramaiannya dibedakan  sebagai hari pasaran dan hari warungan. Orang Jawa tulen tentu paham betul penanggalan Legi Pahing Pon Kliwon Lage. Seperti penanggalan tradisi lainnya, ada hari ramai dan hari santai.  Hari ramai pasaran adalah Pahing Kliwon. Hari santai trio Pon Legi Wage.

Pasar selalu penuh kehangatan, romantisme transaksi pembeli dan penjual, tetapi kadang pasar juga penuh aroma. Iya... aroma yang membaui setiap hidung yang melewatinya. Karena beragam orang yang datang, banyak yang alpa membuamg sampah tak seberapa tidak pada tempatnya. Apalagi ketika trio hari pasaran , jumlah yang datang bisa dua atau tiga kali lipatnya.

Dilos depan pinggir jalan,masih agak tertata. Setiap penjual menyediakan karung sampah, kresek dan terkadamg kardus untuk membuang bekas bungkus makanan,kertas, wadah minuman bekas dan aneka jenis sampah, rupa rupa warnanya.  Yang aku prihatin adalah los dalam, masih banyak yang tak disiplin sehingga sampah bercecer. 

Bumbu, kuliner, dan plastik bekas wadah singlet, sandal sepatu jadi satu. Entah yang datang berbuat seenaknya, atau yang berjualan yang tak taat aturan bersama. Mereka yang disiplin menyediakan karung sampah, sama jumlahnya dengan yang membuang sampah seenaknya. Lupa, budaya tergesa gesa enggan membuang bungkusan tak seberapa atau puntung rokok yang barangkali setelah diinjak kaki tertinggal begitu saja.

Sekali lagi, budaya dan sumber daya manusia. Penjual juga pasti lebih sibuk dan fokus dengan dagangan yang harus dilariskannya. Walhasil,tukang sapon pasar kamilah yang akhirnya kebagian lelahnya. Atau barangkali karena ada mereka, lebih nyaman berbuat apa adanya. Toh nanti ada yang bersih bersih. 

Begitu jalan pendek pikiran budaya massal yang artinya membebankan pada tukang sapon semata. Apalagi, walaupun tak seberapa, kami yang berniaga pasti rutin membayar karcis sampah. Untuk area yang lebih luas juga sudah membayar lebih daripada area lainnya. Retribusi pasar bahasa pemerintahannya.

Yah, akhirnya tukang sapon dan sampah yang harus membereskan pemandangan berserakan ini. Pasar kami luas, seandainya semua memanfaatkan tempat sampah walaupun apa kadarnya, pekerjaan jadi lebih praktis. Setelah mengambil sampah per area, tukang sapon bisa membersihkan lagi yang tersisa sehingga bau cepat hilang. Dan kemudian memilah sampah dengan cepat agar  mengambil manfaat dari uang bisa didaur ulang. Dijual kerongsokan.

Kalau banyak yang alpa, tukang sapon pasar jadi dobel pekerjaannya. Membersihkan dan membersihkan ulang. Kadang juga tak maksimal, apabila lelah sudah menyapa. Terkadang juga tertunda dibeberapa area yang bersih bersihnya lebih ekstra. Dan tentu saja hal ini yang menyisakan aroma. 

Bayaran mereka juga tak banyak, terkadang mendahulukan mana yang akan dirongsok terlebih dahulu, menyisakan area yang tertunda. Judulnya, tukang sapon bersih bersih kerja ekstra, hasilnya belum ekstra. Untungnya kami pedagang maklum dan tak banyak menuntut. Walaupun area yang super bersih tetap jadi dambaan karena semua pasti nyaman. Nyaman yang berbanding lurus dengan tukang sapon yang keringetan. Andai semua sadar bersama. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun