Mohon tunggu...
Rahman Hidayat
Rahman Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media dan Covid-19 pada Psikologis Masyarakat

2 Agustus 2020   19:32 Diperbarui: 2 Agustus 2020   19:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah setengah tahun terhitung pada hari ini,dunia terpaksa merasakan sebuah kehadiran yang tak diinginkan oleh sebuah virus yang berukuran ratusan nanometer tersebut. Berawal dari sebuah gejala misterius yang dialami oleh beberapa orang di China. Mereka mengalami gejala sesak nafas akut. Setelah gejala ini meluas secara masif akhirnya memancing perhatian dunia. Lembaga kesehatan dunia pun menyatakan nama penyakit ini Corona Virus Desease 19 (Covid-19) dan menetapkan sebagai pandemi global mengingat tingkat penyebaran kasusnya yang begitu tinggi. 

Tak bisa dipungkiri, media juga turut ikut serta dalam menginformasikan berbagai macam perkembangan kasus ini. Khususnya di Indonesia sejak pemerintah mengkonfirmasi kasus pertama Covid-19 pada awal Maret 2020 lalu. Hingga saat ini sudah banyak perubahan atau dampak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya kesehatan saja, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lain sebagainya juga terdampak akibat virus yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut. 

Lagi dan lagi semua perubahan tersebut juga tak lepas dari peran media. Seperti teori jarum suntik atau jarum hipodermik (Hypodermic Needle Theory) yang  menjelaskan bahwa media massa secara langsung , cepat, dan mempunyai efek yang luas atas mass audience/ khalayak. Pada pemberitaan Covid-19 ini, banyak redaksi yang memuat isi berita mereka dengan membangun sebuah ketakutan. Kenapa saya berani mengatakan seperti itu? Kita lihat faktanya setiap hari mereka "media" Hanya menampilkan angka tingkat perkembangan kasus Covid-19 bagaikan lomba berhitung. Hal ini tentu berimbas kepada masyarakat dan membuat mereka cemas. 

Tiga bulan awal kasus di Indonesia, masyarakat diwajibkan untuk beraktivitas di rumah setelah pemerintah membuat sebuah kebijakan pembatasan sosial skala berkala (PSBB). Terbukti menurut hasil riset terbaru Nielsen, orang-orang kini menonton TV dengan waktu rata-rata 12 persen lebih tinggi dari biasanya. Otomatis mereka menaruh perhatian tayangan pada siaran berita. Hal berbau teknologi lainnya seperti gadget, komputer, laptop sering digunakan selama dirumah. Media rentan hadir ditengah masyarakat menyajikan ketakutan dengan menampilkan peningkatan kasus Covid-19. 

Mereka merasa layaknya di penjara, masyarakat mulai menunjukkan kejenuhannya karena pembatasan sosial ditambah lagi dengan muatan berita yang cenderung negatif memberikan dampak psikologi kepada masyarakat. Sebanyak 64,3 persen dari 1.522 orang responden memiliki masalah psikologis cemas atau depresi setelah melakukan periksa mandiri via daring terkait kesehatan jiwa dampak dari pandemi COVID-19 yang dilakukan di laman resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).

Memang secara fungsi media sudah benar menyampaikan berita sesuai dengan fungsi jurnalistik. Tetapi perlu diingat, media juga mempunyai peran kontrol sosial. Harusnya narasi yang dibangun oleh banyak redaksi lebih bersifat konstruktif kepada masyarakat. Why not? 

Untuk membantu masyarakat, pemerintah juga sudah memberikan layanan konsultasi psikologi Covid-19 melalui aplikasi sehat jiwa (Sejiwa). Diharapkan layanan ini juga tersebar merata ke seluruh Indonesia dan pemerintah juga terus sosialisasi perihal layanan psikologi yang diberikan kepada masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun