Tulisan saya “Hubungan Seks di Luar Nikah, Bolehkah?” mendapat respon yang cukup banyak dari kompasianer dan terjadi silang pendapat di dalamnya. Secara umum pendapat para penanggap itu mengkerucut pada dua pendapat yaitu pertama yang mendasarkan pada norma-norma agama yang tidak membolehkan dengan berbagai alasan. Kedua, pendapat yang mendasarkan pada logika rasionalitas yang cenderung membolehkan juga dengan berbagai argument yang memperkuatnya.
Pada kesempatan kali ini, saya ingin menulis tentang pernikahan. Hal ini didorong oleh semakin banyaknya pandangan yang mempertanyakan substansi dari pernikahan. Saya membedakan kata nikah dan kawin. Nikah yang saya maksud adalah proses akadnya sedangkan kawin lebih pada proses hubungan seksualnya.
Seringkali saya bertanya sendiri, apakah pernikahan itu merupakan sesuatu yang sakral atau sesungguhnya merupakan transaksi sosial biasa, seperti halnya transaksi jual beli atau sewa menyewa dan lainnya.
KH. Faqihuddin A Qadir berpendapat, dalam wacana fiqh (hukum Islam), tujuan dasar nikah adalah seks. Karena tujuan seks lebih mudah untuk didefinisikan. Dan seks, hanya bisa disahkan melalui pernikahan. Lebih lanjut Kyai Faqih mengutif pendapat Dr. Wahbah az-Zuhaily, seorang pakar fiqh kontemporer asal Syiria, bahwa Nikah merupakan akad yang memungkinkan seorang laki-laki berkenan menikmati tubuh perempuan; baik dengan berhubungan intim, mencium atau memeluk. (Keluarga Sakinah, Rahima 2008)
Dalam buku Fiqh Lima Mazhab, para Ulama Maszhab bersepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad (kontrak), yang mencakup ijab (pernyataan) dan qabul (penerimaan) antara perempuan yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil atau wali, dan dianggap tidak sah jika hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.
Terkait dengan akad nikah ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa nikah itu bukanlah ibadah (la min al-qurabat), tetapi nikah adalah sesuatu kebutuhan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat seksualnya. (min al-syahwat). (Membangun Keluarga Humanis, Graha Cipta 2005)
Dengan pendapat Imam Syafi’i ini, pernikahan hanyalah transaksi sosial biasa. Bernilai ibadah ketika diniatkan untuk mencari ridla Allah SWT. Karena seperti kontrak sosial biasa maka siapapun yang sadar akan hak-haknya akan memilih nikah sebelum kawin jika tidak mau dikemudian hari mengalami persoalan karena ketidakjelasan status hubungannya. Wassalam.