Mohon tunggu...
MuhammadMalikSayyid
MuhammadMalikSayyid Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa STEI SEBI Depok

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengelolaan Lembaga Amil Zakat dengan Prinsip Good Governance

25 Agustus 2019   19:04 Diperbarui: 25 Agustus 2019   19:20 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Mayoritas penduduk Negara Indonesia adalah bergama Islam, yaitu 85% dari total populasi (BPS, 2015). Memiliki jumlah penduduk muslim yang banyak, potensi zakat di Indonesia sangat besar dan dapat digunakan untuk mengurangi angka kemiskinan. Menurut penelitian BAZNAS pada tahun 2015 bahwa Indonesia memiliki potensi zakat nasional mencapai Rp. 286 triliun. Nilai tersebut didapat dengan menggunakan metode ekstrapolasi yang mempertimbangkan pertumbuhan PDB tahun-tahun sebelumnya. Namun, realisasi penghimpunan dana ZIS masih sangat rendah jika melihat potensi yang dapat diperoleh. Dana ZIS yang berhasil dihimpun pada tahun 2015 baru mencapai Rp. 3,7 triliun atau kurang dari 1,3% potensinya (BAZNAS, 2016).

Kesenjangan antara potensi dan realisasi terjadi disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah rendahnya kesadaran muzakki untuk membayar zakat melalui lembaga zakat, rendahnya kepercayaan muzakki terhadap lembaga zakat, dan perilaku muzakki yang masih berorientasi jangka pendek, desentralis dan interpersonal (BAZNAS, 2016). Menurut Fadillah (2011), potensi besar zakat di Indonesia belum bisa dikelola dengan baik karena beberapa masalah berikut:

a. Badan pengelola zakat dianggap tidak professional karena belum menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

b. Pengelola dana zakat dianggap belum memiliki sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas, yaitu berkompeten (kaffah), amanah dan memiliki etos kerja tinggi (himmah).

c. Sistem birokrasi dan good governance dalam pengelolaan zakat di Indonesia masih lemah sehingga berakibat rendahnya akuntabilitas dan transparansi BAZNAS dan LAZ.

Selain itu, menurut Mintarti (2011), organisasi pengelola zakat masih banyak yang belum memiliki atau tidak memahami pentingnya sebuah sistem dalam kinerja organisasinya. Selain itu, belum terciptanya kerja sama yang baik antara sesama organisasi pengelola zakat serta berbagai pihak dalam mendayagunakan zakat, seperti kerja sama antara pemerintah, MUI, ormas Islam, dan para pengusaha. Bentuk kerjasama antara sesama lembaga zakat misalnya dapat diwujudkan dalam bentuk program pendistribusian dana zakat yang terintegrasi. Hal ini masih sulit terealisasi karena belum ada standarisasi manajemen pengelolaan zakat yang dapat memberikan jaminan kualitas pelayanan publik baik pada muzakki, mustahiq, pihak-pihak terkait lainnya maupun masyarakat secara umum (IMZ & PEBS, 2009).

Berdasarkan hal di atas, LAZ membutuhkan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut, agar potensi dana zakat yang besar, dan penghimpunan dana zakat yang semakin meningkat tiap tahunnya bisa diimbangi dengan kualitas manajemen yang baik sehingga pencapaian dan tujuan LAZ lebih optimal. Menurut Mahmudi (2009), untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat sangat dipengaruhi oleh kualitas manajemen LAZ. Penerapan prinsip tata kelola yang baik (Good Governance) diperlukan untuk menjamin dana zakat dari masyarakat telah di dayagunakan secara optimal oleh LAZ. Dengan menerapkan Good Governance, maka setiap lembaga zakat dapat dinilai kualitas tata kelola organisasinya dan dapat dilihat kinerja mana LAZ yang baik dan buruk.

Dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang baik (good governance) diperlukan oleh LAZ untuk meningkatkan kinerja secara profesional dalam rangka memenuhi kepentingan stakeholder. Dalam pengelolaan di LAZ penerapan prinsip-prinsip good governance yaitu (Agus Permana, dan Ahmad Baehaqi, 2018):

1. Transparancy, menjelaskan bahwa LAZ harus menerapkan prinsip keterbukaan informasi kepada pemangku kepentingannya(stakeholder). Transpasansi dalam informasi terdiri dari penyajian laporan keuangan kepada publik, keterbukaan informasi tentang program kerja, transparansi dalam perencanaan, pengalokasian dan pendistribusian dana zakat, infak, dan shodaqoh, serta keterbukaan dalam penganggaran/budgeting.

2. Accountability, menjelaskan bahwa LAZ harus memegang prinsip amanah (akuntabel) dalam mengelola dana zakat yang diterimanya. Akuntabilitas LAZ juga dapat diimplementasikan dengan mengacu dan mematuhi pada 3 (tiga) pilar: hukum syariah (agama), Undang-Undang negara (pemerintah), dan PSAK (pelaporan keuangan).

3. Responsibility, menjelaskan bahwa LAZ bertanggungjawab dalam pendistribusian dana zakat. LAZ harus memastikan bahwa zakat bisa sampai kepada mustahiq secara tepat. Pertanggungjawaban LAZ juga terdiri dari pertanggungjawaban kepada: muzakki, mustahiq, Pemerintah atau Kemenag, BAZNAS, dan DPS, serta masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun