Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres2014; Pesta Demokrasi atau Pendidikan Demokrasi?

26 Juni 2014   15:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:49 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya tertarik kata-kata sahabat saya di Kompasiana dan mungkin saya sendiri sering mengatakan ini, pemilu adalah pesta demokrasi. Yap, dan saya pun awalnya selalu sepakat bahwa Pemilu kali ini sarat dengan intrik dan taktik yang notabene "baru" dipahami oleh masyarakat awam seperti saya. Mungkin orang-orang seperti saya pun memahamkan diri dan membenarkan bahwa pemilu (pilpres) adalah pesta demokrasi.

Tetapi, seiring perjalanan waktu, saya berusaha merenung lagi pasca saya melihat pemilihan umum ini tidak lagi sehat, menarik dan menyenangkan saya jadi tertarik untuk menyebutnya bahwa pemilu bukan sebuah pesta demokrasi. Karena setahu saya pesta itu sifatnya senang-senang, bagi-bagi kebahagiaan, dan semua berkumpul menumpahkan kebahagiaan karena sukses mencapai tujuan tertentu. Tentu saja, ketika dikaitkan dengan pemilu atau pilpres kali ini sejatinya setiap orang menumpahkan kebahagiaan, pujian, ucapan selamat dan saling berjabat tangan.

Ibarat sebuah pesta perkawinan, pasangan capres dan cawapres disandingkan sedangkan para tamu menyambutnya dengan sebuah kebagiaan, haru bahkan air mata bahagia dari kedua pasangan. Dan lebih dari ucapan tulus dari orang tua pasangan, keluarga atau handai taulan dan para tamu yang turut merasakan desiran angin surga yang dirasakan oleh sepasang pengantin tersebut.

Dan seperti biasa, ketika kedua pasangan dan orang-orang larut dalam kebahagiaan, merekapun saling menyumbang (ngamplop) sebagai bagian penting ikatan kekeluargaan. Karena di lain waktu tatkala pasangan lain akan melangsungkan perkawinan keluarga lainnya turut membantu (mengamplop) juga agar beban keluarga kecil yang baru dirajut sedikit banyak berkurang.

Apakah dalam pesta perkawinan tersebut mereka saling mencaci dan menghina? Dan apakah sepasang pengantin tersebut berteriak-teriak bangga bahwa mereka sukses menjadi pengantin? Nggak bukan? Justru mereka saling menyapa, memuji dan berterimakasih secara tulus karena mereka berhasil membina hubungan lebih serius hingga ke jenjang perkawinan nan suci. Dan sepasang pengantin inipun tak berteriak-teriak tanda bangga "hai saya sukses merebut wanita ini menjadi istri saya". Tentu juga tidak dilakukan, karena sepasang suami istri paham betul, kehidupan baru dimulai dan pekerjaan yang harus diselesaikan terlampau banyak, bahkan tak sedikit aral melintang akan menemui dan menghadang kebahagiaan mereka.

Ilustrasi inilah hakekatnya sebuah pesta. Begitu pula jika pilpres merupakan pesta demokrasi, sepatutnya semua capres-cawapres akan menunjukkan wajah sumringah, bahagia, dan tak ada kata-kata selain ucapan syukur karena telah dipercaya oleh rakyat menjadi pemimpin mereka. Dan sepatutnya ketika baru saja memasuki gerbang rumah (kepemimpinan Indonesia) mereka pun sejatinya harus siap menerima konsekuensi setiap detik perjalan waktu akan dihadapi dengan aneka persoalan. Kalau perkawinan mungkin terkait keluarga mereka sendiri yang harus diberikan kehidupan yang layak. Bahkan sejatinya capres dan cawapres yang disandingkan mestinya menitikkan air mata haru karena dipercaya, dan sedih karena menerima amanah rakyat yang maha berat.


Tidak hanya satu keluarga mereka sang capres dan cawapres yang mesti bahagia dan sejahtera, tapi kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia pun ingin dibahagiakan, ingin disejahterakan. Dan tentu saja ingin mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

Tapi, amat kontradiktif jika kita bandingkan dengan indahnya sebuah pesta perkawinan, tatkala melihat pemilu yang katanya "pesta demokrasi" ini, karena mereka saling menghujat, menghina, mencela, bermain kotor, saling akal-akalan media, dan yang lebih miris lagi melakukan propaganda kotor. Dampaknya indahnya "pesta demokrasi" justru menjadi bumerang, selayaknya mesin pembunuh karakter dan pembunuh pribadi-pribadi bangsa ini. Wajar saja seringpula kita melihat gara-gara pilkada, pileg dan pilpres yang harus terluka dan meregang nyawa. Ketika awalnya mereka saling bertegur sapa dan berjabat tangan, kini yang tersisa adalah umpatan-umpatan keji yang jauh dari nurani. Sakit dan pedih rasanya jika Indonesia yang indah ini dihuni para pencaci dan para pembenci.

Lupakan pesta demokrasi demi pendidikan demokrasi

Kita semua menyadari bahwa tidak mudah kog menerima sebuah perbedaan. Jangankan di rumah besar Indonesia yang jumlahnya jutaan umat, di dalam rumah tangga yang isinya sepasang suami istri saja masih diketemukan percekcokan. Namun yang patut direnungkan tatkala ketika kita benar-benar harus berdemokrasi sepatutnya dikembalikan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari kitalah demokrasi itu dibangun, oleh kita-kita yang se-Indonesia ini pula demokrasi ini dijalankan karena dampaknya ketika demokrasi itu sukses maka kebahagiaan pun akan kita nikmati. Bukan hanya para pejabat yang sepatutnya menikmati kesuksesan sebuah demokrasi.Bukan justru sebuah kegagalan demi kegagalan yang kita temui.

Dari dahulu sejak Indonesia merdeka pun kita sudah belajar menjadi sosok yang demokratis dan pemimpin-pemimpin yang diajarkan berdemokrasi secara adil dan transparan. Tidak saling menyakiti karena tujuan kita sama kesejahteraan untuk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun