Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Berbicara NJOP, Siapa yang Salah?

20 April 2016   06:59 Diperbarui: 20 April 2016   17:47 2522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) (housing-estate.com)"][/caption]

Kembali pada persoalan mengenai Nilai Jual Objek Pajak, atau disingkat NJOP yang saat ini menjadi rumor dan sengkarut kasus yang menimpa RS. Sumber Waras. Kasus yang secara tidak langsung maupun langsung melibatkan seorang Gubernur karena tanah itu berada di wilayah kekuasaannya. Apakah murni karena transaksi yang katanya langsung berbentuk lembaran rupiah, atau transaksi langsung via ceck? Karena beberapa tulisan yang saya baca muncul pro dan kontra terkait langsung dan tidaknya. Bagi yang mendukung BPK mereka yakin transaksi yang nilainya milyaran rupiah itu masih bisa terjadi karena hanya butuh selembar ceck saja sudah dipastikan uang akan berpindah tangan tinggal mencairkan saja. Karena tidak mungkin juga nilai milyaran rupiah pembelian tanah RS Sumber Waras itu dilakukan secara tunai dengan uang ada di depannya. Sampai-sampai jika ditimbang uang itu bisa sampai berton-ton beratnya. Amat mustahil bukan? 

Terkait kemustahilan membawa uang yang begitu banyak, maka muncullah karut-marut dan perbedaan persepsi antara benar-benar terjadi transaksi atau tidak? Lalu apakah benar posisi RS Sumber Waras ada di Jalan Tomang atau Ki. Tapa? Sampai-sampai kompasianer Gasa menjelaskan kalau itu terjadi karena status tanah itu sudah terpisah menjadi dua kepemilikan, tapi kenapa sewaktu membayar pajak kog jadi satu? Aneh kan? Gak usah aneh, apapun bisa terjadi. Entah itu disengaja karena ada permaianan oleh pihak yang berwenang mungutin pajak (kantor pajak) atau karena ingin gampangnya. Meskipun indikasinya ini benar-benar murni karena perbedaan persepsi. Kalau ternyata murni karena sengaja digabung agar jumlah pajak tanah bisa dipermainkan maka sudah ada unsur korupsi antara pemilik hak atas tanah dalam hal ini pemegang NJOP itu atau pihak perpajakan sendiri yang ingin memainkan perannya demi memperoleh pundi-pundi uang. 

Yang pasti semuanya ada keterkaitannya, dan ada beberapa pihak yang semestinya bertanggung jawab. Karena ini menyangkut nilai rupiah yang harus diserahkan ke kas negara. Karena kalau NJOP saja tidak sesuai dengan harga tanah yang sebenarnya, maka sudah dapat dipastikan ada permainan di dalamnya. Itu bisa saja terjadi. Makanya persoalan RS Sumber Waras itu semakin melebar jika tidak diurai satu persatu. Diruntut sumber masalahnya dari penetapan objek pajak yang berujung nilai jual dan kewajiban setor pajak kepada negara. Sebagaimana tertuang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah sesuai NJOP tahun yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Terlepas dari itu semua, ada yang menarik dalam kasus ini:

Pertama, selama ini NJOP seringkali tidak sesuai dengan perkembangan wilayah tersebut, sebut saja misalnya pak Bejo, dengan tanah seluas 10.000 m2 ternyata nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar 100 jt. tergantung kelas tanah dan harga NJOP per meter persegi. Setelah dihitung PBB nya jika 0,1 % dari 100 jt maka jumlahnya sebesar 100 rb itu terjadi di tahun 1990 karena pemilik tanah tersebut adalah miliknya dan tercatat jelas bahwa di NJOP itu adalah namanya. Maka pak Bejo mesti membayar pajak sebesar 100 rb sesuai yang tertera dalam bukti PBB dan itu dilakukan oleh ketua RW di mana ia tinggal. Meskipun ada saja yang langsung setor ke Bank yang ditunjuk tapi secara umum dilakukan oleh aparat desa.

Sayang sekali setelah pak Bejo menjual tanah itu kepada pak Usrok, ternyata NJOP tanah masih atas nama pak Bejo. Pak Usrok maupun pak Bejo tidak segera mengurus status mutasi kepemilikannya. Maka sampai bertahun-tahun pajak tanah itu masih atas nama pak Bejo. Apalagi ketika terjadi transaksi antara kedua belah pihak tidak melibatkan pamong desa, dan sebatas kwitansi atau keterangan jual beli saja. Maka otomatis kepemilikan tanah itu menurut catatan BPN juga masih milik pak Bejo, kecuali kedua belah pihak saling menandatangani berita acara pembelian tanah itu yang tertuang dalam Akta Jual Beli dan sertifikat tanah sudah atas nama pihak pembeli.

Kasus pertama terjadi, selama bertahun-tahun tanah yang sedianya dalam NJOP seharga 100 jt, ternyata di tahun berikutnya tanah itu sudah naik hingga 200 juta, sedangkan dalam NJOP masih harga yang pertama. Dan anehnya lagi, pihak pemerintah dalam hal ini  masih memberikan harga sesuai NJOP pertama. Makanya ketika dihitung pajaknya tetap menggunakan nilai yang lama.  Sesuai dengan data base pemerintah.

Pihak pemilik sah kedua tidak bersalah karena memang pihak kelurahan tidak menghitung NJOP terbaru, Makanya sampai berlarut-larut ketika tanah itu dijual kembali maka akan nampak selisih antara harga tanah dan pajak yang harus dibayarkan.

Maka jangan heran, jika sampai detik ini NJOP tanah di berbagai daerah tidak mengalami kenaikan, padahal harga tanah sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kalau diruntut kasus korupsi bisa saja ini dianggap  permainan pemilik tanah karena tidak membayar sesuai harga terkini. Padahal seharusnya NJOP itu terupgrade setiap tahun sesuai dengan nilai jual tanah yang bersangkutan.

Kedua, memang benar nama dan alamat wajib pajak sudah berubah, tapi karena NJOP masih sama maka kewajiban pajak pak Usrok juga masih seperti yang pertama. Hal ini adalah wujud kelalaian pemerintah atau institusi terkait dalam mengeluarkan Akta Jual Beli. Maka dengan kasus ini, masyarakat semakin tahu betapa NJOP itu disesuaikan dengan kondisi riil daerah di mana tanah dan bangunan itu berada. Maka amat berbeda tanah di perkampungan dan di perkotaan kalau berkaitan dengan pajak yang semestinya di keluarkan. Meskipun ada kemungkinan ada permainan antara pemegang hak atas tanah itu dengan instansi terkait misalnya. Karena itu sangat mungkin terjadi. Tanah yang seharusnya NJOPnya sebesar 1 milyar, karena tidak dilakukan perbaikan maka penarikan pajaknya jg tidak akan mengalami kenaikan. Itu bisa dimanfaatkan oleh petugas pajak demi meraih keuntungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun