Dengan asumsi ini, gugur cibiran atas Bhayangkara FC. Hujatan-hujatan beramai-ramai di media sosial itu hanya luapan fan-fan klub sepak bola lebih mapan atas tim bau kencur, yang kemunculannya di kompetisi penuh tanda tanya dan penuh perdebatan juga pertentangan. Tapi tulisan ini tak ingin mengulas itu.
Kembali lagi ke pertanyaan, pantaskah Bhayangkara FC juara?
Ditilik dari hasil pertandingan, tentu saja Bhayangkara layak. Musim ini, dalam 32 pertandingan, tanpa menghitung dua laga terakhir, memenangkan 21 pertandingan, 2 kali imbang, dan hanya kalah 9 sembilan kali. Raihan yang tak mudah tentunya.
Lini pertahanan Bhayangkara juga kokoh, baik secara organisasi main maupun daya tahan. Lini tengah kreatif dan punya tenaga. Saat tim lain tak punya keseimbangan di tengah, kecuali PSM dan Bali United, Bhayangkara gagah di setiap laga. Lini depan, pembelian penyerang baik Tiago Furtuoso di awal musim maupun Illija Spasojevic, manjur.
Simon juga punya segudang ide cemerlang. Pergantian pemain yang ia terapkan di babak kedua pertandingan, hampir 80 persen membuahkan hasil. Tenaga berkekuatan kuda anak-anak muda Bhayangkara FC, berhasil ia letupkan di saat yang tepat. Bhayangkara itu ibarat anak gawang awal musim, kuda hitang di tengah musim, dan juara pada akhirnya.
Tetapi perdebatan boleh saja. Persepsi juga tak salah dikembangkan. Selama bukan tuduhan-tuduhan abu-abu tanpa dasar, tentu banyak pandangan bisa diterima. Kalah menang soal biasa, tapi soal aturan tak boleh biasa-biasa. Terakhir, memang perlu banyak perbaikan dalam penyelenggaraan Liga 1 2017 ini. []