Kalau kita mendengar kata pasar, yang terbayang biasanya hiruk-pikuk pedagang menawarkan dagangan, pembeli sibuk menawar harga, dan aroma khas jajanan tradisional yang menggoda. Namun, bagi ilmu sosiologi, pasar bukan sekadar tempat jual beli. Ia juga menjadi arena konflik --- ruang di mana kepentingan, kekuasaan, dan identitas sosial saling bertemu, berbenturan, lalu dinegosiasikan.
Karl Marx, salah satu tokoh besar sosiologi, berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya perebutan sumber daya yang terbatas. Nah, di pasar, sumber daya itu bisa berupa:
-
Tempat strategis untuk berdagang (misalnya lapak dekat pintu masuk).
Pelanggan dan keuntungan (siapa yang bisa menjual lebih murah, siapa yang loyal pada langganan).
Akses pada jaringan kekuasaan (hubungan dengan pengelola pasar, aparat, atau komunitas tertentu).
Maka tak heran kalau kita sering melihat konflik di pasar, baik antar pedagang, dengan pembeli, maupun dengan pihak otoritas.
Bentuk-Bentuk Konflik di Pasar
Konflik Ekonomi
Persaingan harga, "perang diskon", sampai masuknya retail modern atau e-commerce yang mengancam pedagang tradisional.Konflik Sosial dan Budaya
Pasar juga bisa jadi arena tarik-menarik identitas. Misalnya, pedagang dari kelompok etnis tertentu mendominasi sektor dagang, lalu muncul kecemburuan dari kelompok lain.Konflik dengan Pemerintah atau Aparat
Contohnya bentrokan antara pedagang kaki lima (PKL) dan Satpol PP saat penertiban. Di baliknya, ada perebutan ruang publik: siapa yang berhak memanfaatkannya?