Hei,
Sebenarnya, seperti apa sih pembukaan sebuah surat? Sedang hari-hari kita habiskan di aplikasi pesan instan dan tak ada memori untuk ini. Sudahlah, ku jajal saja sebisanya. Harap engkau bisa maklum.
Entah kenapa akhir-akhir ini riang menyeruak kala aku teringat titik hitam di dagu kirimu, yang sering kali turun naik jika kau tersipu. Meski telah berjarak beberapa musim, ia tetap di situ. Titik hitam itu. Tak berubah.
Lain itu bagaimana, eh? Adakah kawanan burung mengajakmu menari, menari dan menari di kemarau yang lalu? Barangkali engkau kerap mabuk perjalanan karena zaman ugal-ugalan tanpa besi pegangan, tanpa sabuk pengaman? Sudah belajar memaki? (meski belum kutau apa kau sudah mahir dulu itu) Sudah mulai risau akan seberapa tebal kantong uangmu? Kepikiran bumi makin hari makin renta dan bisa jadi debu beterbangan di masa depan yang mendekat? Atau malah sibuk menziarahi album foto usang dan memimpikannya saban malam?
Aku sadar benar tak bisa hanya bersandar pada bayang masa silam. Bahwa matari dan bulan telah menjalankan tugas dengan teramat disiplinnya, tanpa cuti atau dispensasi sekali pun. Dan karenanya masing-masing kita telah lewati persimpangan-persimpangan pilihan. Dan karenanya masing-masing kita bukanlah kita yang dulu itu. Meski titik hitam di dagu kirimu tetap, tak berubah.
Penghujan sudah merangsek di halaman. Mungkin makin menjadi di dua bulan ke depan. Sedang kesehatan teramat tinggi harganya, jadi mesti dirawat seapik mungkin. Jadi, ku cukupkan dulu sampai di sini.
Tabik!