Seseorang yang beragama memang seharusnya memiliki kekhawatiran akan nasibnya kelak di akhirat. Sehingga dia akan menjalani hidupnya dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian.Â
Begitu juga pada konteks pandemi ini, memang yang perlu kita khawatirkan bukan angka kematiannya, tetapi apa akibat yang bisa terjadi jika kita mengabaikannya.
Tubuh kita bisa saja kuat melawan virus, tetapi orang-orang yang ada di sekitar kita belum tentu memiliki imunitas yang sama dengan kita. Tidak elok jika kita tidak memikirkan hal ini. Jangan sampai kita menjadi virus carrier. Akibat inilah yang perlu kita khawatirkan.
Mengingat Kematian
Jika kita cermati, data statistik kematian itu memang tidak bisa kita abaikan. Walaupun angka kematian covid-19 itu rendah secara persentase, tetapi seharusnya itu tetap dijadikan sebagai pengingat buat kita.
Pengingat yang akan membuat diri kita sadar bahwa virus ini nyata dan tidak bisa diremehkan. Apalagi diabaikan atau dilupakan, nyawa taruhannya. Terlalu murah nyawa kita jika harus melayang hanya karena gara-gara ketidak hati-hatian kita dalam menghadapi virus ini.
Selain dimensi fisiknya, mengingat kematian juga memiliki dimensi yang lain. Ustad Badiuzzaman Said Nursi menjadikan mengingat kematian sebagai salah satu sarana mencapai keikhlasan. Ikhlas adalah dimensi rohani, yang letaknya di hati. Tingkat keikhlasan seseorang tidak akan ada yang pernah tahu. Bahkan dirinya pun tak tahu, hanya Tuhan yang tahu.
Lebih jauh lagi Ustad Said Nursi menjelaskan bahwa secara hakikat, manusia akan menyaksikan sebuah kematian zaman. Kematian dan kehancuran dunia. Kesadaran akan hal inilah yang akan membuka jalan baginya kepada keikhlasan yang sempurna.
Ya, kematian zaman itulah yang lebih berbahaya. Kematian zaman yang akan membawa runtuhnya kemanusiaan. Runtuhnya kemanusiaan inilah bencana yang sangat besar bagi dunia. Inilah virus yang lebih membahayakan dari virus korona.
Alhasil, takut akan kematian harus benar-benar kita pahami di masa pandemi ini. Tentunya rasa takut yang proporsional dan rasional.Â