Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik SARA dalam Praktik Wacana

31 Januari 2021   15:30 Diperbarui: 31 Januari 2021   15:35 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: studentaffairscollective.org

Belakangan, di pentas media nasional marak pemberitaan mengenai ucapan seorang pegiat media sosial yang mengatakan bahwa "Islam arogan". Argumen untuk ungkapannya tersebut dibangun di atas "fakta" bahwa Islam mengharamkan beberapa tradisi dan kearifan lokal yang telah ada sebelumnya.

Saya tidak hendak menakar ucapannya dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia. Saya hanya mencoba melihatnya dari sudut pandang penciptaan diskursus atau wacana yang pada akhirnya diperbincangkan publik dan kemudian menyeretnya pada pusaran polemik nasional.

Mari kita mulai tulisan ini dengan sebuah simpulan pemahaman dari pernyataan yang dikatakan Foucault tentang wacana. Menurutnya:

...treating it (discourse) sometimes as the general domain of all statements, sometimes as an individualizable group of statements, and sometimes as a regulated practice that accounts for a certain number of statements"

Pernyataan di atas memberi pengertian kepada kita bahwa wacana itu kadang merujuk kepada domain pernyataan secara umum, kadang merujuk kepada pernyataan yang khusus dan kadang juga merujuk kepada praktik yang teratur yang menjelaskan pernyataan-pernyataan.

Regulasi dalam Praktik Wacana

Dengan acuan pengertian wacana di atas, maka pernyataan bahwa "Islam arogan" telah memenuhi kondisi-kondisi untuk disebut sebagai sebuah wacana; wacana yang kemudian beroperasi dalam tataran publik sebagai bentuk dari praktik wacana (discursive practices).

Pernyataan tersebut bisa dimengerti sebagai ungkapan umum yang berlaku bagi seluruh kandungan ajaran atau pemeluk Islam; ia bisa juga dimengerti sebagai pengecualian untuk menyebut sebagian pemeluk Islam yang menurutnya arogan atau ia bisa juga dimengerti sebagai praktik wacana yang diatur dan dikendalikan.

Apa pun pemahaman yang timbul darinya, satu hal yang jelas bahwa sebuah wacana tidak lahir begitu saja tanpa adanya regulasi yang mengendalikan penciptaan wacana tersebut. Menurut Foucault dalam praktik wacana, terdapat apa yang dinamakan sebagai "eksklusi eksternal" berupa larangan-larangan.

Yang pertama, ada yang dinamakan sebagai tabu (taboo). Semua kita pastinya sudah mengerti apa itu tabu. Dalam konteks pernyataan sang pegiat media sosial tersebut, ia justru telah melanggar tabu bagi masyarakat religius (khususnya umat Islam) ketika melontarkan pernyataannya.

Individu yang memegang dan menganggap tabu sebagai realitas sosial yang harusnya dihindari, tentunya akan sangat berhati-hati untuk tidak melakukan tindakan atau ucapan yang akan dianggap sebagai tabu. Tabu bisa berupa pernyataan atau bisa berupa tindakan. Keduanya biasanya akan dihindari oleh orang yang melek norma sosial.

Yang kedua, dalam praktik wacana ini ada yang dinamakan dengan "perbedaan antara gila dan waras (different between mad and sane). Aplikasinya dalam praktik wacana ini adalah di saat sebuah wacana muncul maka akan tampak perbedaan rasionalitas seseorang (dia itu gila atau waras).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun