Bukankah segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan "imaji dan penampakan" Tuhan Yang Maha Tinggi? Dalam sebuah hadits qudsi dikatakan bahwa "Aku adalah perbandaharaan tersembunyi. Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk."
Jika makhluk merupakan imaji dari kehendak Tuhan untuk dikenali, maka lukisan kaligrafi menjadi medium tiruan terhadap cara kerja Tuhan tersebut mengenai keyakinan hati. Ia merupakan medium dalam mengekspresikan kedalaman penghayatan hati tentang kuasa ilahi.
Seorang penulis akan menuangkan ide dan gagasannya melalui tulisan. Penyanyi mewakilkan imajinasinya melalui keindahan bunyi dan vokal. Olahragawan mewujudkan ketahanan dan kebugaran jasmaninya melalui gerak-gerak sportivitas. Begitu pula seorang pelukis akan menuangkan penghayatannya terhadap realita melalui coretan kuas di atas kanvas.
Tetapi ada yang menarik dari coretan pelukis kaligrafi. Setidaknya dia mewakili dua hal terkait ekspresinya; dia menyajikan persepsi estetis indrawi (penglihatan) tentang ciptaan-Nya dan ia mengungkapkan pengakuan pada dimensi ruhani dan spiritualitasnya (keimanan).
Mengapa keimanan? Karena guratan cat di atas kanvasnya pasti diiringi oleh pemaknaan spiritual terhadap huruf, kata dan kalimat yang ditulisnya. Minimal dia memahami dan mengerti apa maksud dari kalimat yang ditulisnya, seperti halnya ia memahami keindahan alam yang dilukisnya.
Hal yang sama juga terjadi pada penikmat karyanya. Melihat lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci, pasti berbeda impresinya dengan melihat lukisan kaligrafi karya pelukis kaligrafi (misalnya Nashrul Haqqi Firmansyah di atas). Gelombang aura yang dihantarkan keduanya pun berbeda. Tanpa harus dijelaskan secara paksa, setiap orang pasti akan merasakannya.
Melihat dan memandang lukisan Monalisa mungkin hanya akan berhenti pada kekaguman sebatas keindahan estetisnya. Tetapi memandang lukisan kaligrafi akan mengantarkan hati penikmatnya bukan sekadar pada tahap estetikanya tetapi juga sampai pada dialektika keimanan di dalam hatinya.
Singkat kata, jika menikmati lukisan biasa, maka impresi hanya sampai pada tataran "seeing" (melihat). Sedang jika menikmati lukisan kaligrafi, maka impresi akan lebih dalam sampai menyentuh dimensi "believing" (meyakini). Jadi, dalam lukisan kaligrafi termuat sebuah kaidah epistemologi populer: "Seeing is believing".
***