Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

"Melestarikan Kemiskinan" dengan Melegalkan Becak di Ibu Kota

17 Januari 2018   21:46 Diperbarui: 17 Januari 2018   22:13 2538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pawai becak (Sumber: www.lumajangsatu.com)

Wacana melegalkan kembali jenis "transportasi kurang manusiawi" yang kita kenal dengan becak mulai dilemparkan oleh Gubernur terpilih Jakarta Anies Baswedan. Walaupun sejak Gubernur Ali Sadikin jenis angkutan itu telah dilarang beroperasi di Jakarta, namun seolah tidak lekang digilas zaman, ia tetap saja eksis dan malahan sekarang hendak dijamin eksistensinya di Ibu Kota.

Saya bukan warga Ibu Kota, tetapi kebetulan sedang menuntut ilmu di Ibu Kota. Selama enam bulan terakhir ini belum pernah terlihat adanya becak beroperasi di ruas-ruas jalan yang sering dilalui. Maka ketika mengetahui kabar wacana mengenai "menghidupkan kembali" jenis transportasi ini, tergelitik rasanya untuk urun rembuk opini.

Bagi saya sebagai pendatang dari daerah dan "pengamat Ibu Kota" fenomena becak ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Bisa kita lihat sebagai fenomena budaya, fenomena kelas sosial, fenomena lapangan kerja, fenomena mobilitas warga atau fenomena masa depan wajah Ibu Kota.

Jika kita lihat sebagai fenomena budaya, tentu kita akan merasa berkewajiban untuk melestarikan jenis angkutan becak. Sebab bagaimanapun modernnya transportasi masa kini, becak tetap saja merupakan bagian dari "nenek moyang transportasi" modern yang bersaudara dengan dokar, delman, cikar dan andong. Sejarah zaman kolonial dan zaman kemerdekaan tidak akan terlepas dari peranan becak di dalam menggerakkan mobilitas masyarakat.

Sebagai bagian dari budaya bangsa, becak sama bernilainya dengan batik, gamelan, tanjidor, angklung, ondel-ondel atau warisan-warisan budaya lain yang layak untuk dilestarikan oleh pemerintah dan juga warga di setiap daerah. Karena salah satu bentuk dari kesadaran historis kita sebagai bangsa adalah melestarikan warisan budaya sendiri yang menjadi salah satu identitas dan jati diri bangsa. Jika motif legalisasi becak di Ibu Kota berakar pada urusan budaya, tentu saja kita semua setuju walau harus dengan cara-cara yang cerdas bagaimana kita melestarikannya.

Tetapi jika kita lihat dari sudut pandang lain seperti kelas sosial, lapangan kerja, rasa-rasanya melestarikan jenis transportasi ini di Ibu Kota menjadi kurang tepat. Bahkan bisa kita katakan sebagai "upaya malas" untuk beralih ke lapangan kerja yang lebih produktif dan proaktif. Tanpa kita bertujuan untuk merendahkan mereka yang berprofesi sebagai pengayuh becak, di daerah-daerah sering kita lihat para pengemudi becak di perempatan atau di pinggir jalan bersikap pasrah menunggu penumpang yang datang.

Sesungguhnya, adalah tanggung jawab pemerintah (Ibu Kota) untuk mengubah mentalitas menunggu rezeki yang mungkin masih ada di kalangan warga, menjadi mentalitas yang proaktif dan produktif. Selama ini gerakan ke arah sana sebenarnya sudah digagas oleh pasangan Gubernur Ibu Kota Anies-Sandi dan telah berjalan dengan baik melalui program OKE-OCE.

Maka jika dihubungkan dengan gerakan yang sedang gencar-gencarnya disuarakan oleh mereka, menghidupkan kembali becak sebagai bagian dari cara membuka lapangan kerja dalam rangka pemenuhan hajat hidup warga adalah semacam kemunduran dalam pembangunan mentalitas kewirausahaan dari warga Jakarta. Dengan kata lain hal tersebut malah mendorong tumbuhnya "kemiskinan sikap" dan lemahnya mental produktif proaktif dalam bekerja yang lebih baik.

Jika kita lihat dari sudut pandang mobilitas warga Ibu Kota, hal ini juga tidak akan kita temukan alasan yang benar untuk menghidupkan kembali transportasi becak. Warga sekarang lebih sadar akan pentingnya kecepatan dan keamanan dalam bertransportasi. Tengok saja misalnya, banyak warga, termasuk saya yang datang dari daerah, lebih memilih transportasi ojek atau taksi online dari pada ojek atau angkutan konvensional biasa ketika tergesa-gesa. Rasa-rasanya tidak mungkin untuk memilih transportasi becak.

Maka jika becak dihidupkan kembali, ini merupakan upaya yang sia-sia karena kecil kemungkinan warga akan menggunakan jenis transportasi ini. Akibatnya justru malah membuat para pengayuh becak tersebut "menganggur" menunggu penumpang yang tak kunjung tiba. Menciptakan pengangguran berarti sama saja melestarikan kemiskinan di tengah-tengah warga. Sekilas memang seperti membuka lapangan kerja dengan menghidupkan kembali transportasi becak ini. Tetapi sesungguhnya justru malah menutup peluang lapangan kerja yang lebih baik bagi para pengayuh becak.

Alasan lain mengenai tidak efektifnya jenis transportasi becak ini, karena jenis transportasi ini akan ikut menambah potensi kemacetan di Jakarta. Bukankah hal ini telah lama disadari oleh Gubernur Ali Sadikin dahulu ketika mengeluarkan instruksi tanggal 16 Mei 1970 tentang pelarangan angkutan becak ini di mana salah satu alasannya adalah menjadi penyumbang kemacetan di samping alasan ketertiban dan keindahan Ibu Kota. Kemudian kebijakan ini terus dilanjutkan oleh Gubernur Jakarta setelahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun