Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Laki-laki Maskulin, Perempuan Feminim? Praktik Gender dalam Bingkai Budaya Patriarki

1 Juli 2018   16:56 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:32 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: techthisoutnews.com

Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan mahasiswa jurusan pendidikan sosiologi semester 6, mata kuliah sosiologi gender. Kebetulan, di semester ini, saya didapuk mengampu mata kuliah sosiologi gender.

Ini pengalaman baru sekaligus beban intelektual. Pengalaman baru sebab dalam iklim keilmuan yang saya alami, sejarawan konvensional, jarang bersentuhan dengan teori.

Alih-alih melek teori, mereka cenderung alergi, jika bukan karena yang bersangkutan adalah sejarawan posmo. Namun, saya patut bersyukur, sebab iklim belajar ketika menempuh pendidikan master cukup inklusif yang diwujudkan dengan pengkajian isu menggunakan berbagai pendekatan. 

Ilmu sejarah yang saya pelajari pada tahap ini telah membuka diri dengan berbagai kritik, menyerap pelbagai perkembangan termutakhir teori sambil tetap mempertahankan identitasnya.

Perkenalan awal dengan teori-teori pos lebih banyak diilhami dari hasil diskusi dengan dosen pembimbing tesis --seorang doktor kajian budaya yang mengajar beberapa mata kuliah di jurusan saya. 

Melaluinya, saya melahap bacaan tentang teori di samping belajar menguntai kata yang kadang suka menggebu-gebu. Meski di awal agak canggung karena datang dari "rezim" pendidikan, tetapi saya menikmati prosesnya.

Dibanding mata kuliah sejarah wanita yang masih bisa di"raba", saya justru "buta"  di mata kuliah sosiologi gender. Sebagai modal awal, saya berhasil mengumpulkan setidaknya 4 pengarang yang menurut saya bisa membukakan jalan memahami "gender" yang njelimet itu. 

Dua karya Irwan Abdulah yakni "Sangkan Paran Gender-Seks" dan "Gender & Reproduksi Kekuasan", dua karya Mansour Fakih "Analisis Gender dan Transformasi Sosial" dan "Jalan Lain Maifesto Intelektual Organik", lalu dua karya Julia Suryakusuma "State Ibuism" dan "Agama, Seks & Kekuasaan", dan terakhir Saskia Wierengga "Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia".

Di awal-awal perkuliahan, beberapa pertanyaan muncul, mengapa semua laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin? Mengapa laki-laki harus tampak sangar dan perempuan harus tampil lembut? Mengapa semua laki-laki cenderung memiliki posisi lebih tinggi daripada perempuan? Pertanyaan-pertanyaan itu seanalogi dengan pertanyaan tentang Tuhan, kematian, dan kehidupan. Mereka sejenis dan mungkin pertanyaan yang abadi.

Laki-laki beruntung atau tidak, selalu menempati posisi lebih tinggi dari perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih sempurna dari perempuan, dan mengharuskannya bertindak menurut garis tradisi berakar pada budaya patriarki. 

Dalam suatu term psikoanalisis, ia dianggap "the law of the father" yang meresap ke dalam kebudayaan melalui bahasa atau proses simbolik lainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun