Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cara Pintar Ambil Keputusan ala Jim Collins

2 Februari 2015   14:46 Diperbarui: 1 Oktober 2015   08:10 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Jim Collins (foto: Wikipedia)

[caption id="" align="aligncenter" width="253" caption="Buku Jim Collins (foto: Wikipedia)"][/caption] Nama Jim Collins rasanya sudah tidak asing bagi para peminat buku-buku bisnis. Ia menulis sejumlah buku best seller seperti Good to Great, Great by Choice, dan Built to Last. Nah, kebetulan hari ini aku mendengarkan podcast dari EntreLeadership dan Jim Collins menjadi narasumber tamu. Sebenarnya ini bukan podcast terbaru, karena telah dipublikasikan sejak 3 Januari 2015 lalu, tetapi baru didengarkan sekarang. Oya, just FYI, selain mendengarkan musik, aku suka mengisi waktu melaju dari rumah ke kantor dengan mendengarkan podcast menggunakan Double Twist. Ya memang, ini yang seperti pernah aku tulis di Jelajah Tekno, merupakan kelanjutan dari kebiasaan orang mendengarkan radio. Sekarang pilihannya lebih banyak. Mendengarkan radio format lama bisa juga dilakukan menggunakan ponsel, dengan cara streaming. Tapi, mendengarkan podcast ini menjadi pilihan lain yang tak kalah menyenangkan. Asyiknya, kita dapat mendengarkan kapan kita mau. Seperti episode yang aku dengarkan ini, sebenarnya sudah aku download sejak beberapa waktu yang lalu. Tapi, yaitu, suka angin-anginan. Kalau lagi pengen denger musik, ya aku denger musik. Ini kebetulan lagi pengen melakukan sesuatu yang lebih produktif, ya sudah aku dengerin podcast. Di Double Twist (aplikasi di Android) ada menu untuk memilih podcast dan ada banyak sekali pilihan berdasarkan topik yang ingin kita dengar. Nah, bagi yang--katanya--tidak punya waktu untuk membaca buku, mendengarkan podcast ini sangat membantu. Seperti aku, yang setiap hari menghabiskan waktu sekitar sejam lebih untuk melaju dari rumah ke kantor, daripada bengong di tengah kemacetan, waktu bisa aku pergunakan untuk hal-hal yang lebih produktif, dari "membaca" hingga "menulis". Terima kasih kepada hadirnya ponsel cerdas dan aplikasi semacam podcast. Dengan membaca aku maksud ya mengikuti program-program seperti EntreLeadership ini. Daripada pusing dan menghabiskan banyak waktu untuk membaca bukunya Jim Collins, selama beberapa menit yang aku habiskan pagi ini ternyata aku mendapatkan beberapa poin penting dari pemikiran Collins. Terus apa yang aku maksudkan dengan menulis? Pada dasarnya menulis itu proses berpikir. Hasil olah pikiran itu kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis. Sebenarnya, bisa juga dituangkan dalam bentuk lain, yaitu audio. Ini yang sempat aku bagikan pada waktu sharing penulisan bersama Komunitas Blogger Jogja beberapa waktu silam. Menulislah dengan perekam suara. Jadi, tidak ada alasan lagi buat orang-orang seperti isteriku, yang katanya lebih mudah ngomong ketimbang nulis. Mengapa tidak merekam omongannya saja. Memang jadi dua kali kerja, karena setelah itu, pekerjaan lanjutannya adalah mentranskrip audio tadi menjadi tulisan. Tapi, setidaknya, ketika waktu untuk mengetik terbatas, ya rekam saja dulu pikiran dalam format audio. Oke, terus apa yang aku pelajari dari Jim Collins pagi ini? Soal mengambil keputusan menjadi salah satu topik menarik yang juga dipelajari di sekolah-sekolah bisnis. Tapi, intinya sebenarnya sederhana. Sukses perusahaan atau pribadi pasti melibatkan rangkaian keputusan dan perusahaan atau pribadi yang sukses adalah yang konsisten menghasilkan keputusan yang tepat. Dan, pada segmen lain episode podcast ini, Dave Ramsay mengatakan, kesalahan banyak orang adalah tidak mengambil keputusan (indecisive). Nyatanya, tidak mengambil keputusan pada dasarnya adalah sebuah keputusan juga, dus bisa salah juga. Aku jadi ingat omongannya Tony Robbins tentang hal ini. Jangan ragu mengambil keputusan--bahkan, ambillah keputusan sesering mungkin. Tapi, apakah keputusan kita tidak mungkin salah? Sangat mungkin. Tapi, menurut Robbins, dengan semakin sering kita mengambil keputusan, maka semakin mengerti juga kita akan persoalan yang dihadapi sehingga semakin kecil kemungkinan kita mengambil keputusan yang keliru. Dengan kata lain, inilah yang disebut dengan orang yang semakin berpengalaman. Kuncinya adalah belajar. Orang-orang yang berani mengambil keputusan akan belajar, sedangkan orang-orang yang tidak berani mengambil keputusan berarti tidak pernah belajar. Nah, ada poin menarik lagi yang aku tangkap dari pemaparan Jim Collins hari ini. Kesalahan banyak orang lainnya dalam mengambil keputusan adalah memutuskan tanpa cukup punya data. Ini sangat berbahaya karena keputusan tersebut sama saja dengan perjudian dan sulit dipertanggungjawabkan. Tentang hal ini, Collins mengatakan, pertanyaan yang paling krusial adalah berapa banyak waktu yang kita miliki sebelum profil risiko kita berubah. Keputusan tidak terlepas dari risiko. Untuk keputusan-keputusan besar, yang dampaknya luas dan dalam, waktu yang dibutuhkan juga seyogianya harus lebih banyak ketimbang keputusan-keputusan kecil. Ini mungkin sangat logis. Tapi, dengan pertanyaan ini, Collins memberikan panduan yang cukup praktis. Dengan mengetahui banyaknya waktu yang tersedia sebelum profil risiko berubah, kita dapat memanfaatkan waktu yang tersedia untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya sebelum membuat keputusan. Lalu, pada saat profil risiko berubah, itulah saatnya untuk mengambil keputusan. Sungguh uraian yang patut direnungkan lebih lanjut sebelum dipraktikkan. Hal menarik lain yang aku tangkap adalah menyangkut keputusan-keputusan apa yang sangat menentukan kesuksesan perusahaan. Ternyata, keputusan-keputusan terkait SDM. Ini juga yang menjadi penyakit di banyak perusahaan; menempatkan orang yang tidak kompeten di satu posisi dan membiarkan orang-orang yang tidak perform terlalu lama. Kenapa? Karena merasa tidak enak. Kalau ini terjadi di Indonesia, aku sangat paham. Tapi bahwa ini menjadi pokok bahasan dalam perbincangan di podcast yang dibikin oleh wong londo amrik, agak surprise juga. Ternyata sikap submisif juga menjadi penyakit. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun