Mohon tunggu...
Mahameru Sdw
Mahameru Sdw Mohon Tunggu... Penulis - Cicurug, Sukabumi

Umur 20 tahun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benda Tidak Mengerti Mati

2 Desember 2021   05:14 Diperbarui: 2 Desember 2021   05:18 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sembari mendengarkan playlist musik yang berisi instrument bernada tenang namun agak segar, diriku mencoba menapaki untuk menyusur langkah yang seolah olah begitu begitu saja, membosankan.

"apakah kehidupan begitu - gitu saja?" sebuah pertanyaan yang terlontar dengan konteks terhadap sebuah pola standar yang sedang ku amati. Maksudku terkadang kita terlalu ceroboh lebih memilih langsung pada pencarian jawaban "bagaimana cara mencapai puncak" tanpa bertanya apakah "puncak" yang ingin kita tuju adalah benar puncak?. Siapa tau "puncak" yang kamu pikirkan ternyata adalah sebuah jurang; hanya mungkin jarak tempuh nya saja yang sama dengan "puncak" yang sesungguhnya.

Mencoba menerka diriku melalui cermin yang menyatu dengan lemari kuno, ntah dari kapan kemari itu sudah terletak dirumah ku, yang jelas aku menyaksikan lemari itu tidak lah terlihat baru sedari rambut ku yang sering di tata rapih gaya belah pinggir oleh nenek ku, belasan tahun lalu.

Benda yang ku lihat atau lebih tepatnya sedang kujadikan alat bercermin saat ini, mungkin jika dilihat dari sudut materialis merupakah sebuah barang yang tidak ada harganya, keroposnya kayu dan isi lemarinya hanyalah tumpukan pakaian yang tercium bau debu yang kuat. Benar benar tidak istimewa sama sekali.

Lalu aku sedikit berandai - andai akan menyingkirkan lemari tersebut, demi keuntungan tata ruang yang akan didapat setelah lemari itu lenyap.

Tapi saat hati terbesit untuk menyingkirkan, aku jadi tiba tiba ingat, bahwa lemari itu sering kujadikan sebagai pantulan diriku dari tahun ke tahun, hingga merekam sejumlah pristiwa tentang diriku.

Waktu SMP, cermin itu sering ku gunakan untuk mengecek kadar keketatan celana sembari berharap para guru semoga tidak akan pernah melihat kebawah, saat berpapasan dengan ku.

Merasa malu pertama kali botak saat masih menjadi siswa di sekolah dasar, peristiwa tersebut sempat membuat diriku ragu untuk masuk ke sekolah, sebab tidak ingin terlihat konyol di depan wanita yang ku taksir; juga hilangnya beberapa persen karisma dari mata kawan kawan ku, sudah pasti kepalaku tidak akan habis satu Minggu menjadi topik utama ejekan mereka.

Hingga di bedaki oleh bibi ku(kakak dari ibuku, namun sering ku panggil bibi)Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dasar, sudah pasti jauh dari kata merata, tak jarang aku lebih memilih mencucinya kembali di tempat wudhu mesjid yang tidak jauh dari rumah ku, agar bibi ku tidak melihatnya sehingga tidak sakit hati.

Setelah kupikir pikir, ternyata lemari yang tak berharga menurut sisi materialisku tidaklah mutlak benar sepenuhnya. Buktinya lemari tua yang sudah keropos itu mampu membuat diriku merasakan haru yang autentik. Terlalu banyak file penting yang termuat di dalam lemari tua itu. Ibarat sebuah majalah; almarhum nenek ku adalah cover utama di lemari itu. Entah kenapa aku sangat merindukannya baru - baru ini.

Ternyata sesuatu yang dianggap tidak layak untuk mendapatkan sematan "berharga" bukan berarti selamanya mempunyai artian buruk, bisa jadi sesuatu itu tidak "berharga" karena tidak sanggup "menghargakannya", atau tidak ada pengetahuan tentang seberapa "berharganya" sesuatu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun