Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Spirit Haji

20 Juli 2021   08:52 Diperbarui: 20 Juli 2021   10:41 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun ini adalah tahun kedua pelaksanaan ibadah haji dalam kondisi pageblug. Wabah pandemi covid-19 yang masih melanda seluruh negeri. Membuat pemerintah Arab Saudi mengkhususkan pelaksanaan ibadah haji hanya bagi mereka yang tinggal (mukimin) di negara kerajaan tersebut.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun yang terakhir dari lima rukun Islam, yakni: syahadat, salat, zakat, puasa, haji. Dan biasanya oleh ajengan di kampung penulis, rukun haji itu akan selalu dibubuhi kalimat 'bagi yang mampu'. Karena bagi umat muslim yang jauh negerinya, tentu membutuhkan bekal dan ongkos yang besar, selain aman dalam perjalanan. Dan pandemi sekarang ini membuat pelaksanaan ibadah haji pun harus dibatasi dengan ketat.

Pada masa lalu -mungkin masih di sebagian kampung- kedudukan haji bisa menaikkan strata sosial seperti halnya ulama dan umara. Mereka akan dipandang sebagai tokoh masyarakat. Karena tidak sembarang orang bisa mendapat 'panggilan' beribadah ke baitullah.

Hal lain terkait titel atau gelar ke-haji-an pada masa lalu adalah bergantinya atau tambahan pada nama mereka setelah pulang melaksanakan ibadah haji. Nama Dulhadi misalnya, ada tambahan menjadi Haji Muhamad Abdul Hadi. Termasuk pula tokoh pendiri Muhammadiyah, yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis menjadi KH Ahmad Dahlan.

Status haji yang pernah begitu kuat mengakar di masyarakat sebagai simbol keimanan dan sosial secara perlahan kini telah berubah. Ciri sosial secara fisik seperti peci putih sudah tidak lagi menjadi domain para haji. Begitu pula dengan pakaian yang dikenakan. Haji kini tak lebih dari rangkaian rukun Islam semata. Tak ada greget kesakralannya. Seorang haji tak lagi terasa kehadirannya sebagai tokoh yang dihormati. Apalagi bisa menggerakkan peristiwa sejarah seperti pada masa lalu.

Semangat haji

Dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 yang ditulis Sartono Kartodirdjo (Pustaka Jaya, Jakarta, 1984), dijelaskan posisi sentral haji dalam kancah pergolakan politik melawan penguasa. Pada masa kolonial, haji termasuk golongan yang berpengaruh dalam lingkup sosial di masyarakat. Dimana peran haji bisa disebut sebagai agen perubahan sosial. Isu-isu internasional sering hadir dan mencapai momentumnya dalam pelaksanaan ibadah haji di tanah suci yang mempertemukan berbagai bangsa. Selain tentunya untuk memperdalam ajaran Islam sendiri.

Para haji di masa itu tak hanya hadir sebagai guru agama atau status sosial belaka. Mereka juga peka terhadap penderitaan rakyat yang diperlakukan semena-mena oleh penguasa. Bukti tak terbantahkan adalah pemberontakan petani di Banten yang dipimpin oleh para haji. Nama-nama seperti Haji Ishak, Haji Usman, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid, begitu menggetarkan pemerintah kolonial. Di antara para haji itu dalam aktivitas sehari-harinya selain petani ada yang menjadi guru agama, dan mayoritasnya adalah kaum pedagang.

Sampai akhirnya tokoh sekaliber Snouck Hurgronje ditugaskan menjadi atase khusus konsulat Belanda di Jeddah untuk mengawasi pergerakan 'para haji Nusantara' yang dianggap berpotensi membahayakan kekuasaan kolonial.

Kuatnya peran haji sekaligus ritual haji yang mempertemukan berbagai bangsa itu dengan cerdik diamati dan dipelajari pemerintah kolonial lewat tangan dingin sang orientalis yang bernama lengkap Christiaan Snouck Hurgronje itu. Misinya adalah mengamati kehidupan jemaah haji asal Hindia Belanda di Mekkah. Lewat wawancara dan laporan informan lokal yang datang ke konsulat Belanda.

Dari data tersebut, Snouck yang juga dikenal sebagai sang arsitek hukum adat itu pun tahu tentang kebiasaan dan sistem pendidikan di Masjidil Haram, hingga akhirnya Snouck Hurgronje mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar dan mengaku dirinya seorang 'muslim'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun