Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bule dan Inferiority Complex

21 Januari 2021   08:58 Diperbarui: 21 Januari 2021   09:16 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konon Benedict Richard O'Gorman Anderson -sering disapa Ben Anderson- adalah seorang sejarawan yang pertama kali memperkenalkan istilah "bule" sebagai panggilan bagi orang kulit putih. 

Alasannya, seperti dikisahkan dalam buku otobiografi-nya Hidup di Luar Tempurung (2016), karena merasa tak nyaman  atas sebutan "tuan" bagi dia yang tergolong ras kaukasoid itu. Sebutan bule dia populerkan sekitar tahun 1962/1963. Apakah klaim Ben Anderson itu benar? Entahlah.

Kumpeni, Londo, Hingga Bule

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, arti kata bule adalah: pertama, berasal dari kata bulai; kedua, sebutan untuk manusia dan hewan yang putih seluruh tubuhnya karena kekurangan pigmen (albino); ketiga, sebutan untuk orang Barat/Eropa.

Pada era kolonial dan masa revolusi, istilah bule yang dinisbatkan kepada orang Eropa tidaklah dikenal. Bahkan dalam buku-buku sastra dari era Balai Pustaka hingga Angkatan 45, tidak ditemui diksi bule untuk menunjukkan orang-orang Eropa tersebut. Pun dalam film-film bergenre perjuangan.

Bagi generasi penonton film "Si Pitung" dan sebelumnya, lazim menyebut orang Belanda dengan sebutan "kumpeni". Seperti penyebutan bule, sebutan kumpeni sendiri merupakan sarkasme terkait perilaku kolonial mereka.

Kata kumpeni atau kompeni adalah pelafalan dari compagnie, sebutan pendek dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan kongsi atau perkumpulan dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602 dan berhasil menancapkan hegemoninya atas negeri ini yang mereka sebut sebagai Hindia-Belanda.

Cengkeraman hegemoni yang begitu kuat menjadikan bangsa ini  sebagai golongan paling bawah dalam strata sosial maupun hukum pada masa itu. Pada ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling), penduduk Hindia-Belanda dibagi atas tiga golongan, yakni: golongan Eropa, golongan Timur Asing (China, Arab, India), serta golongan Bumiputera.

Superioritas Belanda atas bangsa ini yang begitu lama, secara psikologis memberi dampak pada rasa inferiority complex di kalangan Bumiputera. Bahkan tidak mustahil hingga hari ini. Posisi tuan dan hamba masih terbawa dalam alam bawah sadar kedua ras bangsa ini.

Inferiority complex adalah kondisi di mana seseorang menganggap atau merasa dirinya lebih rendah dari manusia lainnya. Alfred Adler (1870-1937), seorang psikolog Austria menyebutkan bahwa perasaan rendah diri dapat disebabkan oleh pola asuh, keterbatasan fisik dan mental, serta pengalaman status sosial yang lebih rendah. Dan perilaku inferiority complex dapat menyebabkan seseorang memberikan kompensasi yang berlebihan. 

Kondisi ini akhirnya menjadikan cara pandang kita terhadap orang Eropa sebagai individu yang "istimewa". Masih lazim ditemui di antara kita dengan girangnya berujar, "Gua tadi habis foto bareng sama bule!" sambil memperlihatkan foto di HP-nya. Terlebih kalau bulenya lawan jenis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun