Namun manusia sebagai homo sapiens yang terus ber-evolusi, pada dasarnya masih tetap akan bereaksi untuk bertahan (survive) dan bukan pada apakah ini benar atau salah. Di sinilah kecerdasan emosional manusia menjadi dominan. Intinya adalah kemampuan untuk bertahan dan mencari keselamatan bagi dirinya sendiri.
Egoisme Superstition
Tak selamanya kepercayaan terhadap takhyul atau superstition itu memberi efek rasa takut. Seperti diuraikan di atas, hal tersebut juga memberi efek rasa aman. Bahkan kebahagiaan.
Takhyul bagi seseorang belum tentu takhyul bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya. Kita tidak mungkin menertawakan keyakinan suku Indian tentang surga yang digambarkannya sebagai padang perburuan abadi. Karena bagi mereka itulah kebahagiaan sejati.
Dalam perjalanan sejarah manusia, jejak evolusi animisme dan dinamisme tetap masih berperan. Dahulu manusia percaya bahwa batu-batu dan pohon itu memiliki jiwa (anime) sehingga mereka memperlakukan wujud-wujud itu layaknya manusia. Pun dengan langit, gunung, laut yang dipercayai ada penunggunya. Evolusi dari keyakinan dan kepercayaan tersebut terus berkembang dengan bentuk entitas lain semisal UFO dan alien.
Begitu pula dengan evolusi tribalisme, sebagai keyakinan yang dipersatukan karena suku, ras, agama, hingga nasionalisme bahkan kini menyempit lagi dalam bentuk kelompok partisan. Inilah bentuk purba dari egoisme superstition yang paling banal. Bahkan di Amerika sekali pun. Sampai muncul idiom, yang anti masker itu pendukung Trump dan yang memakai masker adalah pendukung Biden.
Mendiktekan pemahaman kepada yang lain karena egoisme superstition hanya akan memunculkan kegaduhan dan merusak tatanan sosial. Tragedi Sigi adalah contohnya!
Bogor, 2 Desember 2020
Â