Mohon tunggu...
Muhammad Abdurrokhim Al-Hafiizh
Muhammad Abdurrokhim Al-Hafiizh Mohon Tunggu... -

Founder of Indonesian Young Engineers Chemical Engineering Student of Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Melihat Negeri Asap dan "Arab Saudi"nya Sawit Dunia Melalui Lensa Bijak

4 November 2015   13:32 Diperbarui: 4 November 2015   15:35 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah jamak diketahui, Indonesia kerap di-bully oleh aktivis lingkungan hidup dan pressure group dunia terkait kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri kehutanan yang meruyak sejak 1980-an. Disini saya sebut posisi sulit sawit tersebut. Stigmatisasi ini begitu kuat sehingga sedikit saja ada berita negatif terkait hutan dan sawit, maka lahirlah pukulan terhadap produk CPO atau biodiesel kita di pasar dunia. Dan tibalah hari ini, saat dimana rakyat Indonesia pun ikut mengutuk keberadaan industri kelapa sawit dalam negeri.

Indonesia Menjadi Negeri Asap

Semenjak kasus bencana asap nasional tahun ini yang belum kunjung reda, belakangan ini banyak opini masyarakat yang melihat prihatin atas adanya Perda yang mengizinkan pembukaan lahan dengan metode pembakaran. Padahal perlu diketahui bahwa Perda yang mengatur izin pembukaan lahan dengan metode pembakaran sudah lama diterapkan dan memang fakta bahwa metode pembakaran adalah cara pembukaan lahan paling cepat dan ekonomis apabila dilakukan sesuai teknik dan aturan kendali.

Di dalam peraturan tersebut diatur batasan pembakaran yang undercontrol dengan luas dan periode tertentu. Tetapi di sisi pengelola kebun, celah dari regulasi tersebut pun dicari sehingga pembukaan lahan dan investasi terus dilakukan demi menggenjot kapasitas produksi yang korelasinya erat dengan profit perusahaan.

Tak hanya perusahaan swasta, saat ini masyarakat pun sudah banyak yang ikut menggeluti perkebunan sawit pada lahan pribadinya. Menurut data statistik tahun 2014, saat ini luas perkebunan kelapa sawit mencapai 10,5 juta hektar (Ha), 4,4 juta Ha di antaranya dimiliki perkebunan rakyat. Dengan komposisi kepemilikan perkebunan rakyat sebesar 4,4 juta Ha, tidak benar anggapan bahwa kepemilikan perkebunan sawit hanya dimiliki swasta. Hanya saja produktivitas perkebunan rakyat masih jauh di bawah perkebunan swasta atau BUMN.

Dengan komposisi perkebunan rakyat sebesar itu, apalagi ditambah pengetahuan teknik yang minim, terjadilah pembakaran hutan out of control hingga timbul bencana asap nasional yang rutin terjadi setiap tahunnya. Kalau sudah seperti ini, siapa pun bisa menjadi kambing hitam tanpa tahu tangan siapa yang sesungguhnya berada di balik kasus ini. Mulai ambruklah industri “Arab Saudi-nya kelapa sawit” dibawah kutukan rakyatnya sendiri.

Indonesia adalah “Arab Saudi-nya” Minyak Sawit Dunia

Tak bisa dipungkiri pula bahwa kebutuhan dalam negeri untuk bahan baku industri minyak goreng, mentega, kosmetik dan industri oleochemical lainnya berkunci di minyak sawit mentah (CPO), serta potensi untuk mengembangkan berbagai energi alternatif hijau dari kelapa sawit sangatlah besar. Target kita menggenjot industri sawit ini ada tiga, yaitu pembangunan ekonomi nasional, pemenuhan kebutuhan industri berbahan baku minyak dan kernel sawit, serta berperan penting dalam pengembangan teknologi bahan bakar nabati.

Pada saat ini Indonesia menguasai pangsa pasar sawit dunia. Sekitar 47% pasokan minyak sawit dunia berasal dari Indonesia. Kelimpahan produksi sawit ini juga menjadi nilai lebihnya dibanding sumber energi nabati lainnya. Perlu diketahui bahwa minyak sawit merupakan alternatif paling siap menjadi sumber energi nabati karena tersedia dalam jumlah besar, sebab di secara geologis di Indonesia produkvitas per hektar kelapa sawit paling tinggi dan harganya paling murah dibanding minyak nabati lainnya.

Yang tidak banyak orang mengetahui adalah bahwa industri kelapa sawit berperan sangat besar terhadap pencapaian devisa negara yang nilai ekspornya mencapai US$ 15,8 miliar atau sekitar Rp 220 triliun. Ini angka yang yang cukup besar sebagai penyumbang devisa negara.

“Perolehan devisa hasil ekspor subsektor perkebunan terutama ditopang komoditi sawit dibanding komoditi lainnya, karet (US$ 5,27 miliar), kakao (US$ 780 juta), kopi (US$ 920 juta) hingga triwulan III tahun lalu” -Gamal Nasir- (Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian).

Sementara itu penggunaan biodiesel berbasis CPO bisa untuk mengurangi pelepasan emisi karbon ke atmosfir bumi. Dan keuntungan lain terletak pada sifatnya yang bisa diperbarui sehingga Indonesia tidak perlu sibuk mengeksplorasi tambang minyak dan gas yang notabenenya sudah akan habis setengah dekade lagi. 

Jelas, jika dilihat seluruh benefit di atas maka di sisi mana “masih kurangnya” sumbangan industri sawit bagi perkonomian negeri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun