Ada penamaan baru terhadap generasi era sekarang yaitu Generasi Millenial. Entah karena apa hingga dinamakan demikian. Secara definitif penamaan seperti itu belum terobyektivikasi. Generasi ini muncul laksana angin yang hanya bisa dirasa tanpa bisa dilihat dan disentuh, seakan-akan ia tidak perlu diobyektivasi hingga terkesan "liar" dalam putaran peradaban kontemporer.
Generasi ini seperti menjadi alur teranyar dari perkembangan peradaban kemanusiaan. Pernyataan seperti ini perlu dikritisi karena kadangkala penamaan sebuah generasi tidak serta-merta menjadi kelanjutan dari generasi sebelumnya tapi menjadi penamaan untuk sebuah pengkategorian sosial semata.
Kalau kita baca sejarah perkembangan peradaban maka akan diketemukan bahwa ketika sebuah generasi menciptakan karya kreatif yang mempengaruhi zaman secara massif maka muncullah penamaan tertentu sebagai sebuah identitas generasi saat itu. Umpamanya, ketika suatu generasi berhasil memformulasikan suatu zaman dengan dominasi rasionalitas hingga berpengaruh secara massif maka zaman tersebut disebut dengan zaman modern atau generasi modern. Generasi ini berhasil merubah, sejak dari pandangan dunia (world view) hingga karya-karya teknologis bermunculan, bahkan paham-paham ideologis pun berada pada pusaran modernitas yang menggunakan rasionalitas sebagai sarananya.
Namun, yang terjadi pada generasi Millenial justru kebalikannya yaitu perkembangan teknologilah yang menciptakan generasi ini. Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat inilah yang menciptakannya. Maka sebenarnya generasi ini merupakan "korban" dari perkembangan teknologi.
Menyatakan generasi millenial sebagai korban tentu saja membuka ruang debat bagi para pihak. Besarnya peluang untuk mendebat pernyataan tersebut sama besarnya dengan peluang untuk mendebat penamaan generasi millenial.
Sekarang, coba kita lihat ciri umum dari generasi millenial, sebagai berikut:
1. Mereka tidak gagap teknologi informasi dengan segala perangkat aplikasinya.
2. Mereka telah menciptakan kosa kata baru yang hanya dimengerti oleh mereka yang tidak gagap teknologi informasi.
3. Mereka menciptakan gaya hidup baru yang bukan merupakan bagian penting dari kemajuan peradaban kemanusiaan. Contonya adalah gaya hidup swaphoto.
4. Mereka mampu mengisolasi dirinya dari dunia nyata dan betah berlama-lama dalam dunia maya.
5. Mereka mengkategorikan eksistensi dirinya dari serpihan photo diri yang diframing untuk tujuan tertentu dan ini teranggapkan sebagai upaya penegasan eksistensi. Dan eksistensi diri akhirnya tidak diambil dari keutamaan nilai, tapi hanya sekedar menginginkan penilaian positif dari orang lain.
6. Mereka menganggap kepopuleran yang ditunjukkan dari banyaknya follower sebagai upaya dari rekayasa sosial dan perlu dijadikan diskursus peradaban juga tanda pagar menjadi bahasa sandi penting dalam pranata sosial generasi ini.