Mohon tunggu...
M Miftahul Firdaus
M Miftahul Firdaus Mohon Tunggu... Insinyur - Pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Pembelajar, Engineer, pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sultan Ngabdulkamid Erucokro Kalifat Rasulullah

13 Juli 2017   10:00 Diperbarui: 13 Juli 2017   10:25 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
18819.jpg Sumber gambar : https://www.satujam.com


Akhir-akhir ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita tengah mengalami berbagai fenomena yang luar biasa yang tidak lain merupakan akibat dari semakin lanjutnya tahapan pemikiran masyarakat beserta berbagai kelompok yang terdapat di dalamnya dalam pencarian dan pengungkapan jati diri.

Terlepasnya kita dari masa Orde Baru memberikan kesempatan bagi munculnya berbagai macam rasa keadilan yang sebelumnya selalu dipendam dan ditekan pada diri setiap orang. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan tidak berlakunya lagi Pancasila sebagai asas tunggal wajib perkumpulan massa menjadi ruang gerak baru bagi lahirnya sekian banyak ormas, partai, dan lembaga pers dengan corak yang berwarna-warni tanpa harus takut dilabeli subversif. Tulisan ini dimuat di Qureta dan blog penulis.

Dengan semakin semaraknya identitas yang diunggah oleh berbagai rasa tersebut, kemudian terjadilah percaturan berbagai pemikiran tentang bentuk entitas yang tepat untuk mewadahi semua bagian dari kaum ini menuju kesejahteraan dan keadilan yang hakiki. Percaturan-percaturan itu terkadang menimbulkan sejumlah gesekan, baik pada tingkat akar rumput maupun pada level elite politik dan ormas, secara internal juga eksternal.

Gesekan yang terjadi dewasa ini tidak terlepas dari fenomena kebangkitan rasa untuk menjadikan Islam sebagai identitas, baik secara pribadi maupun komunal. Salah satu pucuk gunung es dari fenomena ini dapat dilihat pada sejumlah aksi damai bela umat Islam atau bela fatwa MUI yang terjadi beberapa waktu lalu.

Usai berbagai peristiwa itu, wajar jika perdebatan kemudian muncul di ruang publik yang juga tidak terlepas dari berbagai pemberitaan yang ada di media-media massa nasional, baik yang pro ke satu pihak atau pro ke pihak lain. Gesekan itu terus merembes hingga ke level komentator dan pengamat politik "cap jempol", yaitu yang berkegiatan mengetik di media-media sosial menggunakan gawai.

Perdebatan-perdebatan yang menyundul ke permukaan berputar di sudut-sudut yang berlainan, bercabang, tapi kerap berhubungan satu sama lain. Mulai dari isu makar, kepentingan politik terselubung, toleransi, terancamnya Pancasila, terancamnya NKRI, konspirasi pemerintah, Islam garis keras vs moderat, "Islam liberal" vs "Islam jenggotan", hingga rongrongan ideologi khilafah, semua seperti benang kusut yang sulit diurai ke solusi partikuler yang independen.

Ibarat suatu persamaan diferensial orde tinggi, penguraian ke dalam solusi-solusi partikuler berdasarkan kondisi-kondisi batas yang ada amat diperlukan untuk membuatnya bisa diselesaikan. Jika tidak dilakukan, solusi yang terbentuk selamanya berupa solusi homogen yang berarti banyak nilai dapat dimasukkan dan menjadi benar. Dengan kata lain, perdebatan dan gesekan yang tidak berujung.

Katakanalah sistem yang kita bahas di sini merupakan NKRI dengan kondisi batas berupa ideologi, pemikiran, haluan, garis kebijakan, dan berupa-rupa konstituen lainnya yang semisal. Mari kita ambil salah satu konstituen kondisi batas tersebut yang tengah hangat beredar di media pemberitaan maupun media sosial belakangan, yaitu ancaman masuknya ideologi khilafah ke NKRI pada ormas-ormas yang disinyalir dipengaruhi fenomena global ISIS.

Bagi kedua pihak, yaitu mayoritas yang merasa terancam oleh sistem khilafah terhadap NKRI maupun minoritas yang menginginkan berdirinya sistem khilafah (secara harfiah) di Indonesia, sama-sama memiliki sisi benar dan sisi salah tersendiri, dilihat dari kacamata sebelumnya, yaitu rasa keadilan, dan pisau bedah lain, yakni latar historis.

Pertama, dari latar historis, ideologi khilafah tidak baru-baru ini masuk Indonesia akibat fenomena ISIS. Ideologi khilafah telah ada di Indonesia jauh sebelum Indonesia ada, yang tercatat dengan cukup baik yaitu pada masa Perang Jawa, sebagaimana tertulis dalam babad-babad dan buku-buku tentang tokoh utama saga tersebut, Pangeran Diponegoro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun