Mohon tunggu...
Aliyatul Husna
Aliyatul Husna Mohon Tunggu... Pelajar

1% belajar, 99% tidur

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benang Merah Fatwa Perang Suci ke Palestina

19 April 2025   10:03 Diperbarui: 11 Mei 2025   21:56 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 2 November 1917, wajah politik dan sosial kawasan Timur Tengah mulai berubah secara drastis. Deklarasi tersebut merupakan pernyataan yang resmi dari Pemerintahan Inggris sebagai bentuk dukungan pendirian suatu tanah air bagi mesyarakat Yahudi di Negeri Palestina. Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu menyampaikan pernyataan tersebut dalam bentuk surat kepada Baron Rothschild yang merupakan salah seorang tokoh Yahudi berpengaruh di Inggris.

Deklarasi Balfour merupakan fondasi awal dalam terbentuknya negara Israel di atas tanah Palestina, dan hingga kini deklarasi tersebut tetap menjadi sumber utama dari konflik berkepanjangan di wilayah Timur Tengah. Namun, pada saat itu, masyarakat Arab yang sedang terlibat dalam peperangan melawan Kekhalifahan Ottoman (Turki Usmani), malah memilih untuk bekerja sama dengan Inggris dan Prancis. Mereka tidak terlalu memperhatikan isi deklarasi tersebut, dengan harapan bahwa setelah perang usai, mereka akan mendapatkan pengakuan dan kemerdekaan dari kedua kekuatan kolonial itu.

Sayangnya, aliansi bangsa Arab dengan Inggris dan Prancis berujung pada kekecewaan. Banyaknya peperangan serta pengkhianatan dari sebagian bangsa Arab terhadap Ottoman membuat Kekhalifahan itu tumbang. Namun, bukannya memperoleh kemerdekaan, bangsa Arab justru menyaksikan wilayah mereka dibagi-bagi melalui Perjanjian Sykes-Picot dan ditempatkan di bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa yang dikuasai oleh Inggris dan Prancis mulai tahun 1920. Harapan akan kebebasan berubah menjadi realita baru penjajahan.

Secara bertahap, Inggris dan Prancis mulai memberikan kemerdeka an kepada negara-negara Arab, namun tetap dalam kerangka pengaruh dan kontrol terselubung. Pada tahun 1948, Israel secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaannya dan mencaplok sebagian besar wilayah Palestina, bahkan sempat menyerang wilayah negara-negara Arab seperti Yordania, Lebanon, Suriah, dan Mesir. Sejak saat itu, rangkaian perang Arab-Israel pun tak terhindarkan.

Yang lebih menyedihkan lagi yaitu dalam beberapa dekade terakhir, sebagian negara Arab malah menjalin kerja sama ekonomi dan politik dengan Israel, dan meninggalkan Palestina berjuang sendirian.

Pengkhianatan ini mencapai puncaknya ketika beberapa negara menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, tanpa syarat atau jaminan apapun untuk rakyat Palestina.

Baru-baru ini, sebuah fatwa dari Persatuan Ulama Muslim Internasional yang berpusat di Qatar menyerukan jihad dan perang suci untuk membela Palestina. Namun fatwa ini tidak bertahan lama di ruang publik. Tak lama kemudian, lembaga keagamaan resmi Mesir, Dar al-lfta, justru mengeluarkan pernyataan yang bertentangan, menyatakan bahwa tidak wajib melakukan perang suci untuk Palestina, dan bahwa fatwa dari Qatar justru dapat memicu kekacauan di kawasan.

Sebagai orang awam, tentu tidak mudah memahami perbedaan antara dua fatwa besar yang baru-baru ini muncul terkait seruan jihad ke Palestina. Namun, jika kita kembali kepada khazanah fikih klasik, sejarah Nabi Muhammad SAW, fikih siyasah (politik Islam), serta pendekatan usul fikih kontemporer, kita dapat menemukan benang merah yang menjelaskan perbedaan pandangan ini.

Dalam sejarah Islam, salah satu peristiwa penting yang dijadikan dasar hukum jihad terjadi pada masa Rasulullah SAW, yaitu konflik antara kaum Muslim dan Bani Qainuqa. Pertikaian ini dipicu oleh sebuah insiden di pasar mereka. Ketika seorang perempuan Muslimah yang sedang berbelanja di toko emas milik Yahudi dipermalukan oleh orang-orang yahudi. Seorang pria Yahudi mengikat ujung jilbabnya tanpa sepengetahuannya, sehingga ketika ia berdiri, terbukalah auratnya, yang disambut dengan tawa oleh orang-orang Yahudi di sekitarnya. Peristiwa tersebut menumbuhkan rasa amarah dan kekesalan pada umat Islam sehingga berujung pada pengusiran Bani Qainuqa dari Negeri Madinah.

Jika konteks ini digunakan sebagai acuan, maka dapat dipahami mengapa sebagian pihak menganggap perang di Palestina sebagai jihad yang wajib.

Namun, berbeda dengan pendekatan emosional-historis tersebut, Dar al-Ifta Mesir mengeluarkan pandangan yang lebih pragmatis dan berhati-hati. Mereka menegaskan bahwa seruan jihad dan perang suci adalah otoritas eksklusif pemerintah, bukan lembaga non-negara. Menurut Dar al-ifta, fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga seperti Persatuan Ulama Muslim Sedunia justru dapat menimbulkan kekacauan dan instabilitas di kawasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun