Pembuka: Menemukan Harmoni di Tengah Bisingnya Zaman --- Pelajaran dari Tri Hita KaranaÂ
Pernahkah kita merasa hidup terasa riuh, padat, dan melelahkan? Gedung-gedung tinggi menjulang, aktivitas kota tak pernah berhenti, ditambah rutinitas sekolah yang serba formal. Di tengah kepadatan itu, kita sering lupa bahwa ketenangan bisa ditemukan dalam kearifan lokal. Bali memiliki satu filosofi indah yang diwariskan sejak lama: Tri Hita Karana (THK), ajaran harmoni yang menuntun manusia pada keseimbangan.
Filosofi ini sederhana tapi mendalam: menjaga harmoni dengan Tuhan (parhyangan), dengan sesama manusia (pawongan), dan dengan alam (palemahan). Pertanyaannya, bagaimana konsep ini bisa diterapkan dalam kehidupan modern, khususnya di tata ruang perkotaan dan dunia pendidikan SMP?
THK dalam Arsitektur dan Tata Ruang
Arsitektur yang Penuh Filosofi
Arsitektur tradisional Bali tidak hanya menonjolkan keindahan, tetapi juga menyimpan makna filosofis. Konsep Tri Mandala---yang membagi ruang menjadi area suci (utama mandala), area sosial (madya mandala), dan area fungsional (nista mandala)---selalu menjadi pedoman dalam membangun rumah maupun pura. Susunan ini membuat bangunan bukan sekadar tempat beraktivitas, tetapi wadah yang menyatukan spiritualitas, kebersamaan, dan kelestarian alam (Komang Adi & Perdana, 2015).
Realita Modern dan Tantangannya
Sayangnya, prinsip ini mulai terkikis di kawasan perkotaan. Penelitian di Denpasar (Sarjana, 2023) menunjukkan bahwa perumahan modern sering meniadakan ruang hijau dan zona sakral demi alasan efisiensi lahan. Bahkan di Singaraja, meskipun pola tradisional masih bertahan, modernisasi perlahan mengubah fungsi dan makna ruang (Undiksha, 2015).
Apa Kabar Arsitektur Sekolah SMP?