Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanah Surga, Katanya

13 Desember 2017   01:32 Diperbarui: 13 Desember 2017   02:20 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: www.tamanfilm.com

Sebagai sebuah Negara maritim yang cukup besar, Indonesia memiliki cukup banyak potensi Sumber Daya Alam yang sangat melimpah. Tentunya dengan kenyataan itu seharusnya Negara ini mampu memberikan kesejahteraan bagi sekitar 261,1 Juta penduduk Nusantara menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS). Sayangnya hingga saat ini, kesejahteraan yang diimpikan oleh seluruh masyarakat hanya semu, seperti halnya kemerdekaan semu yang seharusnya sudah kita dapatkan sejak 17 Agustus 1945.

Hingga zaman memasuki generasi milenial seperti sekarang ini, kita masih belum kesulitan menemukan kantung-kantung ketimpangan sosial di setiap sudut negeri ini. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin pun seakan semakin merana walau mereka hidup di negeri yang katanya tanah surga. Contoh nyata yang paling menyakitkan anak bangsa adalah ketika Papua, sang mutiara hitam lemah tak berdaya, listrik dan pendidikan masih belum banyak dinikmati oleh mereka yang tinggal di sana, padahal dari sana juga berdiri dengan kokoh tambang emas Freeport, logam mulia lambang kemakmuran.

Penguasa-penguasa itu memilih mempertahankan argumennya demi meraup keuntungan pribadi sebesar mungkin daripada melakukan tindakan klise yang nampaknya mustahil mereka lakukan, berjuang mati-matian demi kepentingan rakyat. Mungkin itulah salah satu alasan kuat mengapa ada warga Papua yang lebih memilih untuk menjadi pemberontak demi keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada diperalat oleh penjahat berdasi. 

Bongkahan emas itu bagaikan nyawa masa depan 3,486 juta penduduk Papua yang selama ini hampir tidak pernah merasakan betapa indahnya pembangunan di tanah kelahirannya seperti yang dirasakan oleh rakyat lainnya di pulau Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi.

 Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 adalah sebesar 27,7 juta. Angka tersebut terhitung bertambah 6,900 orang jika dibandingkan dengan perhitungan instansi yang sama pada September 2016 yang totalnya mencapai 27,76 juta. Sedangkan data ketimpangan menurut Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) kondisinya sangat memprihatinkan. 

Direktur INFID, Sugeng Bahagijo memaparkan terjadinya ketimpangan di Negara ini lebih dikarenakan belum meratanya pembagian pendapatan antar penduduk Indonesia. Kenyataan itulah yang membuat peringkat ketimpangan republik ini menempati posisi enam terburuk di dunia. Ketimpangan diyakini tidak hanya memperlambat pengentasan masyarakat dari kemiskinan saja, tetapi juga menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Data dari Badan Pusat Statistik tentu dapat menjadi acuan yang valid bagi kita semua betapa mengerikannya angka-angka tersebut menjadi bukti tingginya angka ketimpangan sosial Negara kita tercinta ini antara penduduk satu dengan yang lainnya. Korupsi yang terjadi di sana-sini dengan angka yang cukup fantastis dan gaya hidup hedonis para pelayan rakyat menjadi kenyataan pahit lainnya bahwa Negara ini memang butuh mereka yang bukan hanya sekedar mau memimpin saja, tetapi juga melayani, punya jiwa pelayan,

 karena sejatinya pemimpin dan wakil rakyat itu adalah pelayan rakyat, seharusnya rakyat yang lebih kaya, bukan mereka yang duduk di kursi empuk karena hasil suara dari kita yang setiap hari hanya duduk di kursi kayu.

Bagaimana mau berbicara tentang kesejahteraan jika sampai detik ini masih banyak diantara kita yang belum mendapatkan hak untuk mempunyai identitas kependudukan berupa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) akibat terbatasnya bahan baku material pembuatan kartu karena anggarannya sudah dikuras habis oleh koruptor yang saat ini satu per satu mulai ditumbangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Bagaimana juga kita bisa segera bermimpi anak cucu kita kelak akan menikmati seisi tanah surga ini jika saudara-saudara kita di Papua masih bimbang antara dua pilihan, ingin memerdekakan diri sendiri atau tetap bertahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa tahu kapan mereka akan keluar dari penderitaan yang berkepanjangan, akibat anak bangsa yang mendapat amanah jadi penguasa justru sibuk berebut saham Freeport untuk kemakmurannya sendiri.

Jika nenek moyang sudah memberikan keleluasaan bagi generasi penerusnya untuk mengelola kemudian menikmati limpahan Sumber Daya Alam ibu pertiwi akan tetapi masih saja kemerdekaan dan kesejahteraan semu yang sekarang kita rasakan, berarti sejatinya yang patut disalahkan adalah diri kita sendiri yang selama bertahun-tahun hidup berbangsa dan bernegara namun tidak pernah menekan ego, alhasil kegagalan kita hidup menjadi seorang negarawan kelak akan ditanggung berat oleh anak cucu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun