Mohon tunggu...
Luthfi Zaennuri
Luthfi Zaennuri Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Karyawan Swasta , Freelancer, Wirausahawan. Hobi nulis / ngetik cerita disela waktu

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Refleksi di Tengah Murka Rakyat

31 Agustus 2025   01:08 Diperbarui: 31 Agustus 2025   01:08 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Ada saat ketika suara rakyat sudah tak lagi bisa dibungkam. Gelombang murka itu bukan muncul tiba-tiba, ia tumbuh perlahan, ditanam dengan pupuk kezaliman, disiram dengan kebijakan yang bodoh, dan dibiarkan matang oleh kesombongan para penguasa yang tak kenal malu. Kita menyaksikan sendiri: pemerintahan semakin ugal-ugalan, aparat semakin represif, agamawan yang mestinya jadi pelita justru sibuk mengkilapkan mahkota megahnya, sementara rakyat kecil dipaksa hidup di bawah bayang-bayang hinaan dan cibiran.

Betapa getir rasanya, ketika orang miskin yang sudah sulit mencari nafkah malah dicap SDM rendah, emosian, tak pantas berkeluarga. Betapa pedih, ketika rakyat kecil yang mengais rejeki dengan keringat ditertawakan oleh mereka yang duduk nyaman di kursi empuk, menikmati tunjangan dan fasilitas fantastis. Dan lebih menyakitkan lagi, ketika dari mimbar agama yang mestinya menenangkan, justru keluar suara yang menggurui, seakan-akan penderitaan ini hanyalah kurangnya iman atau kurangnya sabar. Padahal yang kurang bukan iman rakyat, melainkan nurani para elit yang makin keras membatu.

Masjid memang semakin megah, kubah menjulang, marmer berkilauan. Infak diumumkan dengan suara lantang dari pengeras masjid, tapi kemiskinan di kanan-kirinya tetap membisu, tetap lapar. Zakat mengendap, entah di mana alirannya. Guru-guru agama hidup pas-pasan, sementara yayasan dan lembaga pamer saldo dan kekayaan. Dan yang paling menusuk hati: korupsi dana Haji. Ibadah yang suci dijadikan ladang memperkaya diri. Itu bukan sekadar pengkhianatan pada umat, tapi pengkhianatan pada Tuhan itu sendiri.

Di tengah semua itu, rakyat berusaha bertahan. Mereka mencoba sabar, mencoba menerima, mencoba berpegang pada nasihat agama, mencoba menahan murka. Tapi batas kesabaran manusia ada. Dan ketika semua jalan buntu, ketika setiap pintu pertolongan hanya menampilkan wajah pongah yang semakin pede mempertontonkan kebobrokan, maka rakyat pun meledak. Jalanan dipenuhi suara mereka, bukan semata-mata untuk gaduh, tapi karena diam sudah sama dengan mati.

Mungkin inilah bentuk hukuman dari Tuhan. Bukan karena rakyat kecil berdosa, tapi karena kita semua lalai membiarkan kesombongan meraja. Hukum alam bekerja: ketika kezaliman dibiarkan, ia akan memupuk dendam. Ketika ketidakadilan dibiarkan, ia akan melahirkan amarah. Dan cepat atau lambat, bom waktu itu akan meledak, merobek wajah palsu yang selama ini dipertontonkan di layar televisi, di mimbar megah, di podium kekuasaan.

Pertanyaannya kini: maukah kita mengambil pelajaran? Maukah kita sadar bahwa ini bukan sekadar "ulah rakyat emosian", melainkan sebuah refleksi dari ketimpangan moral dan sosial yang sudah terlalu lama kita biarkan? Ataukah kita tetap menutup mata, mengulang kesalahan, membiarkan arogansi merajalela sampai negeri ini benar-benar karam?

Karena yang jelas, murka rakyat bukan sekadar letupan. Ia adalah cermin. Cermin yang memantulkan wajah asli bangsa ini: wajah para pengkhianat amanah, wajah para penjarah kepercayaan, wajah yang gemar merendahkan sesama. Dan bila cermin itu pecah, jangan salahkan siapa-siapa. Itu adalah akibat. Sebuah peringatan. Sebuah tamparan. Sebuah hukum Tuhan, yang tidak bisa disuap dengan pidato, tidak bisa dibungkam dengan aparat, dan tidak bisa dihentikan oleh mimbar yang penuh retorika kosong.

Maka berhentilah membusungkan dada, berhentilah merasa paling benar, dan mulailah introspeksi. Sebab bila tidak, sejarah sudah membisikkan satu hal yang pasti: rakyat yang terhinakan akan selalu menemukan cara untuk bangkit, dan murka yang ditekan akan selalu menemukan jalannya untuk meledak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun