Mohon tunggu...
Luthfi Yacob
Luthfi Yacob Mohon Tunggu... Freelancer - Cerita cinta tanpa dicinta

Semua ini tentangku meski mereka bahkan kamu tak perduli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Isak Ngiang

24 Agustus 2019   12:30 Diperbarui: 24 Agustus 2019   12:30 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lantunan selamat pagi kembali di kumandangkan dalam birahi tapi masih ingin tenggelam dalam mimpi, tapi tidak akan ku lakukan karena bagiku mimpi bukanlah sebagai pemuas harapan tapi bagiku mimpi adalah harapan itu sendiri dan sedangkan pemuasannya ada dalam hati yang tercermin melalui realisasi.

Pagi ini, di awal minggu pada pertengahan bulan di pertengahan tahun juga aku berfikir akan diri sendiri. Tegusur oleh renungan dan angan-angan yang kubangun, lalu mengalihkanku langsung dari kenyataan menuju pada nafsu yang tidak punya kepastian.

Wahai peradaban penuh sejarah yang meharumkan nama para penjajak di dalamnya, apa kabar kamu? Sedangkah kamu baik-baik saja? Kalau kabar kamu baik dan kamu sedang baik-baik saja mungkinkah aku yang sedang kurang baik kabarnya? Entahlah bisa jadi keduanya.

Manusia yang mengeluh sebagai pertanda bahwa dia manusia biasa, tapi jangan sampai mengeluh dijadikan hal yang melulu karena bisa jadi penyakit yang dapat mengecilkan hati bahkan diri sendiri. Ya, rasanya aku ingin mengeluh atas segala yang terjadi sekarang ini, entah itu keluhan atau penyesalan akan hari lalu tapi pada intinya tidak ada kepuasan di dalamnya. Kenapa tidak puas? Mungkinkah kurang bersyukur? Ataukan aku yang terlalu kufur?

Jika ini salahku, ku utarakan kata beribu maaf dan teriakan penuh pengampunan. Tapi jika itu bukan salah ku, akan ku maafkan juga dan beribu pengampunan atas kesalahnya. Gelisahku pada kenyataan yang kini kian menjujung pengahrapan adalah kenapa semua ini terjadi di peradaban manusia atau bumi manusia ku ini. CIPUTAT.

 Ciputat bagaikan tumbuhan yang selalu subur akan tanaman hijau yang menghijaukan tapi kini tidak, warna hijau kini kian usang bagai tumbuhan yang terkena hama, entah itu hama atau benalu yang mematikan, yang jelas kini hijaunya ciputat tak berbinar tapi malah sirna dalam lupa yang mendalam. Lupa? Ya, ku rasa lupa. Lupa bahwa ciputat adalah peradaban, lupa bahwa ciputat di agungkan, lupa bahwa ciputat adalah tempat banyak orang menaruh harapan.

Rungsing, pusing, bahkan putus pengaharapan dalam hijaunya ciputat. Banyak pilihan atas masalah itu, salah satunya adalah pergi lalu cari dan jadikan tempat lain sebagai tempat pengaharpaan akan semua angan atau menetap lalu berjuangan untuk mengokohkan kembali. Pilihan itu ada pada diri sendiri, tinggal kau pilih mana yang lebih diinginkan.

Sadarkan! Semua yang tercatat dari huruf  yang disusuh menjadi kata dan dirangkaikan dengan kata lain menjadi kalimat adalah bentuk penyadaran bahwa aku sedang beranjak sadar, tidak lagi hanya gusar dalam tidur. Semoga diri ini cepat dalam penyadaran lalu terjun bebas dengan kesadaran menuju yang lebih baik. Aku atas diriku tidak ingin peradaban hijau penuh penghijauan mati dalam kesia-sian apalagi membuat kesengsaraan bagi kita yang berpengharapan di peradaban ini.  Semoga kalianpun sama!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun