Mohon tunggu...
Luthfi Wildani
Luthfi Wildani Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Hikmah dan Kebenaran

I'm Just The Ordinary Man and Thirsty Knowledge

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Lebih Dekat Kitab Al-Mabsuth

5 Maret 2016   08:29 Diperbarui: 5 Maret 2016   09:45 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=www.al-ilmiyah.com"][/caption]

Kitab al-Mabsuth merupakan salah satu dari kitab-kitab muktamad dalam madzhab Hanafi. Kitab ini merupakan besutan dari seorang ahli fiqih dan pakar ushul fiqih yang mempunyai nama lengkap Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Sahl as-Sarakhsi. Kitab ini termasuk dalam kategori fiqih muqaran (perbandingan madzhab), terutama menyebutkan perbandingan dari madzhab Syafi’i dan Maliki. Terkadang juga menyebutkan perbandingan dari madzhab Hanbali dan Zhahiri. Di dalam kitab ini, beliau juga mengumpulkan aqwal dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Abu Yusuf (w. 182 H), al-Syaibani (w. 189 H), Zufar (w. 158 H) dan ulama-ulama besar lainnya dalam madzhab Hanafi. Imam as-Sarakhsi (w. 483 H) merupakan seorang Mujtahid Muqayyad/Mujtahid Takhrij, persis dibawah level Mujtahid Muthlaq ghair Mustaqil.

Dalam madzhab Hanafi, kitab al-Mabsuth merupakan kitab terbesar dan terbanyak yang pernah ditulis, karena terdiri dari 30 jilid. Dan al-Mabsuth adalah kitab yang paling masyhur diantara kitab-kitab yang pernah ditulis oleh as-Sarakhsi. Perlu diketahui, bahwa kitab ini merupakan syarah dari kitab al-Kafi karangan Imam al-Marwazi (w. 344 H). Sehingga kalau dijabarkan, nama lengkap kitab ini adalah al-Mabsuth fi syarh al-Kafi. Sedangkan kitab al-Kafi sendiri merupakan mukhtashar dari kitab al-Mabsuth karangan Imam Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H).

Kitab al-Kafi ini ditulis disebabkan penolakan dari sebagian para penuntut ilmu yang merasa kesulitan dalam memahami kitab al-Mabsuth karangan Imam al-Syaibani karena terlalu luasnya kandungan lafadz dan maknanya serta pengulangan diskursus-diskursus yang sudah dibahas. Oleh karena itu, Imam al-Marwazi menulis kitab al-Mukhtashar (sebutan lain dari kitab al-Kafi) untuk menghilangkan pengulangan permasalahan-permasalahan yang sudah dibahas dengan tetap menyertakan keluasan makna dan lafadz yang terkandung dalam kitab al-Mabsuth supaya para penuntut ilmu mempunyai semangat dan ghirah lagi dalam mengkaji kitab al-Mabsuth.

Kemudian pada zaman as-Sarakhsi, terdapat sebagian penolakan dari para penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu fiqih karena beberapa sebab : 1. Tingginya semangat sebagian dari mereka, sehingga mereka hanya mencukupkan dengan permasalahan-permasalahan khilafiyah yang pembahasannya panjang dan rumit; 2. Meninggalkan nasehat dari sebagian guru mereka dengan cara memperumit persoalan yang ada dengan permasalahan-permasalahan yang mendalam secara langsung tanpa ada fiqih di dalamnya; 3. Sebagian mutakallimin memperpanjang dan memperumit dengan menyebutkan kata-kata yang mengandung filsafat ke dalam penjelasan makna-makna fiqih dan mencampurkan dengan perkataan mereka. Dari kegelisahan-kegelisahan inilah yang melatarbelakangi kitab al-Mabsuth ditulis untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada pada zaman tersebut. Sehingga Imam as-Sarakhsi tidak menambahkan makna dan penjelasan apapun dalam setiap permasalahan yang bisa mempengaruhi makna yang terkandung di dalamnya, beliau hanya mencukupkan apa yang sudah menjadi penjelasan muktamad dalam setiap bab.

Uniknya, kitab ini ditulis ketika beliau berada di penjara. Dan yang menulis adalah para muridnya. Kisah penulisan ini pun diabadikan dalam muqaddimah kitab al-Mabsuth. Penulis akan memaparkan bagaimana kronologi penulisan kitab al-Mabsuth selama beliau di penjara. Pada suatu ketika, Imam as-Sarakhsi ditanya oleh seorang hakim di suatu daerah yang bernama “uzajanda” tentang sebuah hukum fiqih. Hakim tersebut menikahi seorang jariyah (budak perempuan) sebelum membebaskannya, kemudian hakim tersebut bertanya bagaimana hukum perbuatan tersebut. Imam as-Sarakhsi pun menjawab bahwa perbuatan tersebut adalah haram alias tidak boleh, dan pernikahannya bathil. Seketika itu, hakim marah besar dan Imam as-Sarakhsi langsung dipenjarakan di sebuah tempat seperti sumur yang khusus untuk penjara sekitar 10 tahun lamanya. Dan beliau dipisahkan sendiri dari para residivis yang lain alias beliau hanya sebatang kara di dalam sumur tersebut. Kemudian pada suatu hari, murid-muridnya Imam as-Sarakhsi berkumpul diatas sumur penjara tersebut untuk meminta sang Imam menjelaskan kitab al-Kafi karangan Imam al-Marwazi. Dan beliaupun menjelaskan dan mendiktekannya dari bawah penjara. Akhirnya, jadilah kitab al-Mabsuth yang ada ditangan kita sekarang sebanyak 30 jilid.

Kitab ini mempunyai uslub (gaya bahasa) yang mudah dipahami dan frase serta ungkapan yang jelas. Sedangkan metode penulisan kitab al-Mabsuth ini, sang Imam menyebutkan masalah fiqih, kemudian menjelaskan hukumnya dalam perspektif madzhab Hanafi terlebih dahulu, disertai dengan istidlal-nya, baru kemudian menyebutkan pendapat-pendapat sebagian madzhab yang menyelisihi disertai penjelasan dalil-dalilnya, kemudian baru mengkomparasikan dalil-dalil antar madzhab. Terkadang beliau mengkompromikan antara dalil madzhab Hanafi dengan dalil-dalil dari madzhab lain yang menyelisihi dengan sebuah ramuan kompromi yang baik, dan sebisa mungkin menghindari ta’arudh (pertentangan). Kitab ini juga menjadi rujukan utama dalam qadha dan fatwa, juga dalam tadris (pengajaran) dan tashnif (sistematikan penulisan).

Ternyata, penamaan kitab al-Mabsuth tidak hanya milik Imam as-Sarakhsi dan Imam al-Syaibani saja, tapi banyak sekali digunakan oleh para Mujtahid dalam madzhab lain. Di dalam madzhab Hanafi pun penamaan kitab al-Mabsuth dipakai oleh tiga Mujtahid, dua diantaranya sudah penulis sebutkan diatas, sedangkan yang satunya adalah kitab al-Mabsuth karangan al-Qadhi Abu Yusuf (w. 182 H), dan kitab ini lebih dikenal dengan sebutan al-Ashl. Dalam madzhab Syafi’i, ada dua Mujtahid yang memiliki kitab al-Mabsuth, diantaranya al-Mabsuth karangan Imam Abu ‘Ashim al-‘Ubbadi (w. 458 H), dan al-Mabsuth karangan Imam Abu Bakr al-Baihaqi (w. 458 H). Dalam madzhab Maliki, hanya ada satu Mujtahid yang memiliki kitab al-Mabsuth, yaitu Imam Ibn ‘Arafah al-Tunisi (w. 803 H). Terakhir, dalam madzhab Imamiyah, kitab al-Mabsuth karangan Abu Ja’far al-Thusi (w. 460 H). Wallahu a'lam

Referensi :

[1] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 1 hal. 1-4

[2] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 1 hal. 46

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun