Pendahuluan
Es krim adalah salah satu jenis makanan penutup yang sangat digemari di Indonesia. Popularitasnya tidak terbatas pada anak-anak, tetapi juga meluas ke kalangan dewasa. Makanan beku ini biasanya disimpan dalam lemari pendingin dan disajikan dalam kondisi dingin. Es krim termasuk makanan penutup seperti puding, mousse, fruit pie, dan kue (Sulaiman, H., 2015). Umumnya, es krim dibuat dari campuran susu, krim, gula, dan bahan perisa. Selain itu, bahan tambahan seperti pewarna, pengemulsi, dan penstabil turut digunakan dalam proses pembuatannya.
Seiring dengan meningkatnya konsumsi es krim di Indonesia, data dari Saputra, SR et. al. 2024 menunjukkan tren pertumbuhan penjualan es krim dalam kemasan yang signifikan selama periode 2020 hingga 2022. Pada tahun 2020 penjualan es krim mencapai $854,1 juta, dan pada tahun 2021 sampai 2022 penjualan es krim dalam kemasan di Indonesia mengalami kenaikkan yang pesat sehingga total penjualan es krim dalam kemasan mencapai $1062,3 miliar atau sekitar Rp 15,86 triliun jika kurs tukar pada saat itu Rp 14.927/US$ yang artinya mengalami peningkatan sebesar 7,44% dari tahun sebelumnya sebanyak $988,7 juta.
Meningkatnya tren konsumsi es krim di Indonesia ini turut disertai dengan meningkatnya perhatian masyarakat, khususnya umat Muslim, terhadap aspek kehalalan produk. Perhatian ini timbul karena bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi es krim yang tidak semuanya memiliki kejelasan status kehalalannya. Beberapa diantaranya dapat bersumber dari zat yang diragukan baik dari sisi asal maupun cara produksinya. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengidentifikasi titik kritis kehalalan dalam proses produksi agar konsumen merasa aman dalam mengkonsumsi es krim.
Tren Konsumsi Es Krim di Indonesia
Industri es krim di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Dalam kurun waktu 2021 hingga 2022, penjualan es krim meningkat pesat dengan nilai mencapai $1062,3 miliar atau sekitar Rp 15,86 triliun (Saputra, S.R. et. al. 2024). Lonjakan ini mencerminkan tingginya minat masyarakat terhadap produk es krim. Namun, peningkatan konsumsi ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Muslim mengenai status kehalalan produk es krim, khususnya terkait bahan baku yang digunakan dalam proses produksinya.
Kekhawatiran tersebut semakin mencuat ketika terjadi kontroversi mengenai salah satu merek es krim terkenal, yaitu Mixue, yang sempat belum memiliki sertifikasi halal. Muncul berbagai pertanyaan dari masyarakat terkait bahan baku yang digunakan dan proses pengajuan sertifikasi halal oleh merek tersebut (Apriani, A., 2024). Kasus ini menunjukkan pentingnya transparansi produsen serta perlunya pemahaman mendalam terhadap titik kritis kehalalan dalam pembuatan es krim.
Titik Kritis Kehalalan dalam Produksi Es Krim
Titik kritis kehalalan adalah tahapan-tahapan dalam proses produksi yang berpotensi menyebabkan produk menjadi tidak halal. Oleh karena itu, identifikasi dan pengawasan terhadap titik-titik ini sangat penting agar es krim yang diproduksi benar-benar memenuhi standar halal. Berikut ini adalah beberapa titik kritis dalam bahan baku dan proses pembuatan es krim:
1. Susu
Susu merupakan bahan utama dalam pembuatan es krim dan menjadi sumber protein hewani yang penting (SNI 3141.1:2011). Namun, susu dapat menjadi tidak halal apabila berasal dari hewan yang diharamkan, seperti babi, atau telah dicampur dengan bahan tambahan yang najis. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, babi termasuk yang diharamkan. Selain itu, menurut Sumarlin (2024), terdapat kemungkinan hingga 25% bahwa produk susu, telur, dan ikan dapat menjadi tidak halal apabila melalui proses pengolahan yang melibatkan bahan tambahan atau penolong yang najis.