Mohon tunggu...
Lutfi Syarqawi
Lutfi Syarqawi Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial-Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Spiritualitas Politik Cak Imin

9 Mei 2018   10:30 Diperbarui: 9 Mei 2018   11:00 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.indovoices.com

Menjelang pemilu serentak 2019, banyak para politisi sudah memoles dan mematut-matutkan diri sebagai sosok yang paling layak untuk dipilih. Seringkali sikap dan ucapan yang muncul disertai dengan “bau mulut” tanpa mereka sadari.  

Memoles wajah tapi lupa berkumur atau menggososk gigi. Akibatnya banyak masyarakat yang tercengang, wajah kinclong dengan pakaian rapi tapi mulutnya bau seperti terasi. Tipe orang seperti ini, menurut ulama, dimakruhkan melaksanakan solat jama’ah karena dapat mengagnggu kekhusyu’an jama’ah yang lain. Jadi, jauhi dia.

Sosok dengan ciri di atas merupakan gambaran dari politisi pragmatis yang hanya mementingkan diri dan golongannya. Bagi mereka, selama politik itu dapat mengeyangkan perut, menambah pundi-pundi hartanya, serta dapat menjadikannya berkuasa maka segala cara menjadi boleh dilakukan. Tidak peduli akal dibuang moral/akhlak diterjang yang penting mereka dapat “kejang-kejang’.

Anehnya politisi model begini ada dan banyak di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Maksudnya, meski mayoritas muslim tapi kelakuan politiknya tidak ubahnya srigala berbulu domba. Terlihat baik dan Islami tapi kemudian mencuri sapi, berjidat hitam dan jenggot panjang tapi lalu korupsi untuk mahar buat calon bini. Padahal Islam mengajarkan untuk selalu mengedepankan akhlak dalam prilaku dan ucapan serta memberi manfaat bagi hidup orang lain (Muhshin). Aneh tapi nyata. Kenapa gejala ini bisa terjadi dalam masyrakat kita yang kebanyakan muslim?

Menurut hemat saya, hal tersebut terjadi karena mereka mejadikan politik sebagai sarana mendapatkan uang dan kekuasaan. Politik bukan dilihat sebagi panggilan nurani untuk memberi manfaat kepada orang lain dan mensejahterakan masyarakat (khairunnas anfa’uhum linnas). Tapi politik dianggap sebagai peningkatan karir dan menaikkan gengsi di masyarakat. Sehingga segala upaya mereka lakukan untuk menaikkan karir dan gengsi, tanpa peduli akan nasib orang lain.

Maraknya kegiatan-kegiatan keagamaan baik telivisi, media sosial, dan di masyarakat yang mereka lakukan, terutama dikalangan pejabat dan politisi, ternyata tidak diringi oleh perubahan ucapan dan sikap yang lebih menyejukkan dan membawa pesan perdamiaan. Ritus kegamaan hanya sebagai simbol untuk menaikkan citra diri dalam rangka meraih suara dari para pemilih muslim. Buktinya, banyak kita lihat pentas perpolitikan nasional saat ini penuh dengan simbol-simbol dan atribut keagamaan tapi dalam prakteknya/isinya penuh ujran kebencian dan permusuhan.

Menurut, Muahimin Iskandar/Cak Imin dalam bukunya Kontekstualisasi Demokrasi Di Indonesia, situasi paradoks semacam ini mucul karena tiga hal;

Pertama, kecenderungan para elit untuk menggunakan simbol sebagai produk dari hegemoni pemikiran positivistic-fungsional. Ketika menjalankan kebijakan ekonomi, yang dikejar adalah angka-angka satistik seperti tingkat pertumbuhan dan inflasi. Ketika angka yang menjadi target sudah tercapai, maka puaslah hati para elitnya. Soal bahwa angka tersebut tidak berbanding lurus dengan kenyataan masyarakat, itu seakan bukan urusan dan tanggung jawab mereka.

Kedua, kecenderungan elit dan pemimpin untuk mencapai tujuan dengan jalan pintas dan instan. Banyak elit/pemimpin tidak memiliki kesabaran untuk menjalani proses secara alamiah dalam mewujudkan hidupnya, juga tujuan kolektif oragnisasi atau partai politiknya. Cara-cara instan ditempuh dengan membeli waktu. Pada akhirnya, kesejateraan masyarakat cukup dicapai dengan angka statistik. Demokrasi dibeli dengan prosedur-prosedur. Keberagamaan cukup dengan simbol-simbol dan ritus yang dilaksanakan di mana-mana.

Ketiga, kecenderungan para elit/pemimpin menjadi selebriti dalam segala hal dengan mengedepankan kemewahan dan citra diri yang dianggap efekitif untuk meraih dukungan politik. Dengan sedirinya politik menjadi berjarak dengan kenyataan, bahkan semakin menjauhinya. Elit/pemimpin cenderung melindungi diri untuk bersentuhan langsung dengan persoalan nyata di masyarakat untuk jangka waktu yang lama.

Pandangan Cak Imin di atas menunjukkan betapa fenomena kecenderungan elit/ pemimpin hanya bersifat pragmatis belaka. Padahal kondisi bangsa saat ini membutuhkan sosok atau tokoh yang mampu membawa bangsa ke depan dengan kesejahteraan yang mampu bersaing dengan negara-negara lain pada tingkat global. Dibutuhka elit/pemimpin politik yang memiliki spirit keagamaan dan kebangsaan yang mampu melampui hasrat-hasrat kebendaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun