Dalam beberapa tahun terakhir, isu bullying di kalangan siswa sekolah dasar mengalami peningkatan baik dari segi intensitas maupun bentuknya. Dulu, bullying mungkin identik dengan kekerasan fisik seperti dorongan, pukulan, atau ejekan di depan teman-teman. Namun saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan akses anak-anak terhadap media sosial, bentuk perundungan telah berkembang menjadi lebih halus dan tersembunyi, salah satunya dalam bentuk cyberbullying.
Anak-anak usia sekolah dasar, yang dikenal sebagai generasi digital (digital natives), kini telah terbiasa menggunakan perangkat seperti ponsel pintar, tablet, dan komputer. Mereka aktif di platform digital dan media sosial, serta tergabung dalam berbagai grup komunikasi, termasuk grup kelas atau komunitas bermain daring. Sayangnya, ruang-ruang digital ini tidak selalu digunakan untuk hal-hal positif. Tidak sedikit kasus perundungan terjadi melalui chat grup, komentar bernada merendahkan di media sosial, hingga pengucilan dalam permainan daring atau aktivitas belajar virtual.
Namun, yang menjadi persoalan adalah adanya pandangan yang keliru dari sebagian orang dewasa, termasuk orang tua dan pendidik, yang menganggap perilaku bullying sebagai hal biasa dalam proses pergaulan anak. Pandangan ini berisiko membuat tindakan bullying dibiarkan, tanpa intervensi atau edukasi yang memadai. Padahal, bullying memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental anak, seperti menurunnya rasa percaya diri, munculnya kecemasan, depresi, bahkan trauma jangka panjang.
Upaya penanganan yang bersifat represif, seperti pemberian hukuman, teguran keras, atau skorsing, juga terbukti tidak selalu efektif. Metode seperti ini sering kali hanya menekan gejala, bukan menyelesaikan akar permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih mendidik, reflektif, dan membangun kesadaran diri pada anak. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan secara efektif adalah modifikasi perilaku, yang mengedepankan pemberian penguatan terhadap perilaku positif serta pembentukan karakter anak melalui contoh konkret dan latihan sosial.
Bullying di Era Digital: Fenomena yang Semakin Kompleks dan Terselubung
Perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak besar terhadap interaksi sosial anak, termasuk dalam hal perilaku bullying. Bentuk-bentuk bullying kini tidak hanya terjadi secara fisik di lingkungan sekolah, tetapi juga muncul dalam bentuk digital yang lebih sulit dideteksi. Beberapa bentuk bullying digital yang umum terjadi di kalangan siswa sekolah dasar antara lain:
- Pesan bernada menyindir atau merendahkan yang dikirim melalui grup aplikasi perpesanan seperti WhatsApp.
- Pengucilan sosial secara daring, misalnya melalui tindakan "unfriend", "block", atau tidak mengikutsertakan teman dalam grup bermain atau belajar.
- Eksklusivitas kelompok dalam permainan daring, yang membuat anak merasa tidak diinginkan.
- Komentar negatif terkait penampilan atau kondisi pribadi (body shaming), yang dapat merusak kepercayaan diri anak.
Meskipun secara kasatmata bentuk perundungan ini tampak "ringan", namun dampaknya bisa sangat signifikan terhadap kondisi psikologis anak. Ironisnya, bentuk perundungan seperti ini kerap tidak terpantau oleh guru maupun orang tua.
Keterbatasan Pendekatan Hukuman dalam Mengatasi Bullying
Dalam praktiknya, sekolah sering kali mengambil langkah tegas terhadap pelaku bullying melalui sanksi atau hukuman. Bentuk hukuman tersebut bisa berupa peringatan keras, pemanggilan orang tua, hingga skorsing. Namun, pendekatan ini belum tentu efektif dalam jangka panjang. Beberapa efek negatif yang dapat muncul akibat pendekatan ini antara lain:
- Anak merasa dipermalukan dan justru menolak untuk mengakui kesalahannya.
- Hukuman hanya bersifat menakut-nakuti, bukan membangun kesadaran atau empati.
- Anak mungkin menunjukkan perubahan perilaku hanya sementara atau berpura-pura, tanpa benar-benar memahami mengapa tindakannya salah.
Pendekatan yang hanya fokus pada pemberian sanksi sering kali melewatkan aspek edukatif dan reflektif yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan karakter.
Penerapan Modifikasi Perilaku sebagai Alternatif Solutif