8. Metode Fenomenologis
Fenomena yang dimaksud disini bukanlah fenomena alamiah yang dapat dicerap dengan observasi empiris seperti fenomena alam. Fenomena disini merupakan makna aslinya yang berasal dari bahasa Yunani: phainomai, artinya adalah “yang terlihat”. Jadi fenomena adalah data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Metode fenomenologi dilakukan dengan melakukan tiga reduksi (ephoc) terhadap obyek, yaitu:
- Mereduksi suatu obyek formal dari berbagai hal tambahan yang tidak substansial.
- Mereduksi obyek dengan menyisihkan unsur-unsur subyektif seperti perasaan, keinginan dan pandangan. Pencarian obyek murni tersebut disebut dengan reduksi eidetis.
- Reduksi ketiga bukan lagi mengenai obyek atau fenomena, tetapi merupakan wende zum subjekt (mengarah ke subyek), dan mengenai terjadinya penampakan diri sendiri. Dasar-dasar dalam kesadaran yang membentuk suatu subyek disisihkan.
Intinya metode ini melihat sesuatu dengan objektif tanpa melihat sisi subjektifnya seperti kepentingan, perasaan, atau tekanan sosial. Bayangkan bagaimana rasa penasaran seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa ketika menemukan hal baru. Ia akan mengobservasinya dan melakukan apapun untuk secara tidak sadar mempelajari dan mengenalnya, termasuk meremas dan menendang kucing liar yang ia temukan di halaman belakang rumah. Metode ini dipopulerkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).
9. Metode Filsafat Eksistensialisme
Tokoh-tokoh terkemuka Eksistensialisme adalah Heidegger, Sartre, Jaspers, Marcel dan Merleau-Point. Para tokoh eksistensialis tidak menyetujui tekanan Husserl pada sikap obyektif. Bagi kalangan eksistensialis, subjektifitas manusialah yang pertama-tama dianalisa.
Karena bisa jadi sebetulnya sesuatu yang dianggap “ada” (exist) itu tidak dapat “mengada” tanpa ada konteks pembentuk disekitarnya: perasaan manusia, interaktifitas individu dalam suatu kelompok dan kepentingan tertentu. Beberapa sifat eksistensialis ialah:
- Subyektivitas individualis yang unik, bukan obyek dan bukan umum.
- Keterbukaan terhadap manusia dan dunia lain: internasionalitas dan praksis bukan teori saja.
- Pengalaman afektif dalam hubungan dengan dunia, bukan observasi.
- Kesejarahan dan kebebasan, bukan essensi yang tetap.
- Segi tragis dan kegagalan. Pada dasarnya dalam analisa eksistensi itu, de facto mereka memakai fenomenologi yang otentik, dengan observasi dan analisa teliti.
Setiap ungkapan, baik awam maupun ilmiah, berakar pada suatu pengalaman langsung yang bersifat pra-reflektif dan pra-ilmiah. Melalui analisa ungkapan pengalaman terbatas itulah, justru dapat ditemukan kembali pengalaman yang lebih fundamental.
Sekian penjelasan dari saya semoga bermanfaat,
Wassalamualaikum.wr.wb