Agustus adalah bulan yang sakral bagi masyarakat Indonesia. Bulan yang bersejarah, dimana kita berhasil menegakkan diri sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan. Di bulan yang sama pula pertanyaan klasik itu akan terus dilontarkan, "benarkah kita sudah merdeka?" dan "apa itu kemerdekaan yang sesungguhnya?".
Bung Karno pernah mengingatkan dalam salah satu ucapannya yang terkenal, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Pesan tersebut rasanya bergema makin nyaring saat ini. Saya berpikir, perlukah perayaan ulang tahun ada di saat masyarakat tengah berada di titik kritis keputusasaan?
Sinyal Ekonomi Lesu
Negara mengalami kelesuan ekonomi. Tanda-tandanya jelas terpampang, mulai dari PDB kuartal I 2025 yang tidak sampai 5%, rupiah melemah, PHK besar-besaran, angka pengangguran meningkat, melemahnya daya beli masyarakat hingga angka ekspor yang menurun tajam. (1)
Pengangguran yang meningkat pada lulusan sarjana membuat kita lebih mudah menuding skill mismatch sebagai biang kerok. Padahal masih ada minimnya penciptaan lapangan kerja yang juga perlu jadi perhatian.
Industri manufaktur kita lemah. Padahal sektor padat karya adalah solusi untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Para ekonom tak kurang-kurang mengingatkan untuk tidak gegabah dan membuat paket kebijakan yang jelas, terukur, tepat sasaran, transparan dan rasional. Sayangnya, seperti yang bisa kita tebak, negara ini seringkali terlalu jumawa untuk mendengarkan pemikiran kaum cerdik cendekia.
Kesenjangan Gaji dengan KinerjaÂ
Ada banyak stok "dagelan" dan blunder yang siap membuat masyarakat bingung antara harus tertawa, marah atau menangis. Negara ini punya cita-cita yang besar dan ambisius dengan memanfaatkan bonus demografinya: Indonesia Emas 2045. Indonesia Emas 2045 tentu butuh generasi emas untuk mewujudkannya.
Namun, bagaimana caranya mencetak generasi emas kalau gaji dan kesejahteraan para pendidik masih belum mampu membuat mereka hidup layak? Bagaimana bisa mereka fokus pada misi mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat UUD 1945 kalau perut masih lapar (apalagi bagi guru honorer yang hanya digaji Rp 300 ribu per bulan dan kadang dirapel sampai tiga bulan kemudian)?Â
Belum lagi beban administrasi yang lebih banyak menyita waktu dan tenaga ketimbang tugas mengajar dan mendidik.
Sementara wakil rakyat kita menikmati gaji Rp 3 juta per hari, lengkap dengan segala tunjangan dan fasilitas. Bisakah Anda bayangkan, uang pajak yang kita setorkan dipakai untuk menggaji wakil rakyat sebesar itu, sedangkan kinerja mereka---yang ibarat kalau kerja di perusahaan---mencapai KPI (key performance indicators) saja tidak?