Mohon tunggu...
Lumekso Dewo
Lumekso Dewo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Playing games and listening music

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Sosial dan Lingkungan Petani Padi di Pinggiran Kota Serang

6 Oktober 2025   04:42 Diperbarui: 6 Oktober 2025   04:42 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Seorang petani padi di wilayah pinggiran Kota Serang menceritakan bahwa dirinya telah menekuni pekerjaan sebagai petani sejak masih muda. Beliau mulai membantu orang tuanya di ssawah sejak usia belasan tahun dan mulai mengelola sawah sendiri sejak berudia sekitar dua puluh lima tahun. Menurut Pak Ujang, kegiatan bertani dulu sangat kental dengan semangat gotong royong, terutama saat masa tanam dan panen. Namun kini kebersamaan itu mulai berkurang karena sebagia pekerjaan sudah digantikan oleh mesin dan tenaga buruh harian. Meski demikian, hubungan antarpetani masih cukup akrab, terutama dalam berbagi informasi tentang hama, air, atau bibit. Ia juga menuturkan bahwa minat generasi muda terhadap pertanian semakin menurun karena dianggap pekerjaan berat dengan upah yang tidak pasti. Hanya segelintir anak muda yang mulai tertarik lagi setelah adanya pelatihan dan bantuan alat dari pemerintah. Peran perempuan di daerahnya pun masih besar, terutama dalam proses tanam, penyiangan, dan pengelolaan hasil panen di rumah. Ia juga tergabung dalam kelompok tani yang berfungsi membantu pengadaan pupuk, pelatihan, serta menjadi wadah berdiskusi tentang berbagai persoalan pertanian.

Lalu ia mengungkapkan bahwa kondisi lahan saat ini tidak sesubur dulu. Tanah terasa lebih keras akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, ditambah lagi kualitas air urugasi yang menurun karena tercampur limbah dari permukiman sekitar. Perubahan lingkungan juga terasa jelas. Musin hujan dan kemarau yang tidak menentu, hama semakin banyak, dan hasil panen sulit diprediksi. Untuk menjaga kesuburan tanah, beliau mulai beralih ke pupuk organik dari kotoran ternak dan jerami yang difermentasi. Beliau juga menggunakan ramuan alami dari daun sirsak atau tembakau untuk mengendalikan hama. Meski hasilnya tidak secepat bahan kimia tetapi cara ini lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan.

Beliau berharap pemerintah lebih memperhatikan petani kecil, terutama dalam hal pelatihan bertani ramah lingkungan serta bantuan pupuk organik yang harganya masih relatif mahal. Pak Ujang juga berpendapat bahwa agar generasi muda mau kembali ke pertanian, harus ada jaminan bahwa bertani bisa memberikan penghasilan yang layak. Menurutnya, bertani bukan hanya soal mencari hasil, tetapi juga menjaga keseimbangan alam. Pak Ujang memberikan pesan sederhana namun bermakna: "Kalau tanah rusak dan air kotor, kita nggak bisa tanam lagi. Jadi bertani itu bukan cuma soal panen hari ini, tapi juga soal menjaga agar anak cucu nanti masih bisa hidup dari tanah yang sama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun