Mohon tunggu...
Luluh Pramuda
Luluh Pramuda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perdagangan Bebas, yang Kaya Makin Kaya, yang Miskin Tetap Miskin

16 Oktober 2018   12:52 Diperbarui: 16 Oktober 2018   13:23 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Komunikasi dimulai sebelum adanya orang mengenal tulisan. Orang-orang suku Indian di Amerika misalnya, mereka berkomunikasi dengan asap. Sedangkan di Indonesia orang berkomunikasi dengan kentongan untuk menandakan pemberitahuan kepada masyarakat. Meskipun jaman sudah berkembang pesat, kentongan masih digunakan sampai saat ini khususnya di desa-desa.

Lambat laun tekonologi komunikasi terus berkembang dan menunjukkan eksistensinya. Dari penemuan telepon, radio, komputer dan infrastruktur telekomunikasi yang paling mutakhir adalah penemuan satelit. Kehadiran satelit mampu membawa pengaruh yang sangat besar terhadap hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Perkembangan satelit berdampak pada sektor perdagangan atau perekonomian di dunia, industri penyiaran, bank dan penerbangan dunia, juga distribusi majalah dan koran internasional.

Komunikasi internasional menuntut perubahan ideologi perdagangan dunia. Pada tahun 1980 ideologi perdagangan bebas hadir membawa dampak negatif dan dampak positif bagi pelaku ekonomi. Akibatnya mucul praktik privatisasi dan liberalisasi. Privatisasi adalah perusahaan yang kepemilikannya dialihkan dari negeri ke swasta atau pribadi. Contoh praktik privatisasi di Indonesia, yaitu PT Indoframa Tbk (INAF) masuk bursa 17 April 2001, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) masuk bursa 4 Juli 2001, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) masuk bursa 15 Desember 2003 dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) masuk bursa 10 November 2010 dan masih banyak lagi lainnya. 

Liberalisasi ekonomi adalah menghendaki otoritas regulatif dalam hal ini pemerintah untuk melanggengkan jargon mekanisme pasar menjadi suatu kebijakan yang menghendaki peran sektor swasta atau pemilik modal sebagai pelaku ekonomi utama. Dari praktik liberalisasi berarti membebaskan seseorang maupun perusahaan swasta untuk melakukan kegiatan ekonomi dan memiliki usaha asalkan dia ada modal. 

Praktik privatisasi dan liberalisasi berdampak pada konglomerasi media. Dimana media dikuasai oleh segelintir orang saja. Ignatius Hariyanto dalam "Media Ownership and its Implicationts for Journalist and Journalism in Indonesia" pada laman tirto.id menyebutkan ada delapan perusahaan media yang dikuasai oleh torang tertentu saja. Delapan media tersebut adalah CT Corp milik Chairul Tanjung, Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo, EMTEK milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Visi Media Asia milik Bakrie Group, Media Group milik Surya Paloh, Berita Satu Media Holding milik Keluarga Riady, Jawa Pos milik Dahlan Iskan dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama.

Adanya konglomerasi media menimbulkan tidak adanya variasi informasi yakni informasi yang disuguhkan di dalam satu kepemilikan media akan sama. Sehingga paket jurnalistik yang lengkap dan keberagaman informasi ditaruhkan. Audiens sebagai sasaran utama tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh informasi yang lengkap. Jika Anda menonton televisi dan mengamati, Anda akan melihat berita yang ditanyangkan di stasiun RCTI kemudian berita tersebut ditayangkan ulang di MNCTV bahkan tidak hanya sekali dua kali saja. 

Jika tidak adanya pembatasan kepemilikan usaha khususnya di industri media, tidak menutup kemungkinan pemilik media tersebut akan terus melebarkan sayapnya. Lama kelamaan industri penyiaran akan dinilai sebagai ladang bisnis yang sangat menguntungkan dan menggiurkan. Para pemilik usaha yang dalam tito.id disebut konglomerat media akan semakin kaya dengan berbagai media yang mereka miliki. Tidak heran jika nantinya masyarakat sebagai penonton akan bertanya, kemanakah nilai-nilai jurnalisme? Kemanakah etika-etika penyiaran kita? 

Given their economic situation, it would be extremely difficult for poorer countries to afford transponder fees or to acquire other commercial satellite services. Despite its recent growth, the satellite industry demands very sub-stantial investment and high risk, and only the large transnational corpora-tions will be able to exploit this communication hardware.

Daftar Pustaka

https://tirto.id: diunduh pada tanggal 16 Oktober 2018
Kishan Thussu, Daya. 2000. International Communication Contiunity and Change. New York. Oxford University Press Inc.
https://www.researchgate.net
https://m.detik.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun