Mohon tunggu...
Lukas Wungo
Lukas Wungo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Hukum Mengenai Hutang Piutang

16 Desember 2022   21:36 Diperbarui: 16 Desember 2022   21:39 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjanjian lisan menurut hukum adalah sah dan mengikat selama memenuhi yakni parah pihak sepakat dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 

Kelemahannya, bila debitur "pihak yang berutang"ingkar janji atau bahkan menyangkal tidak pernah membuat perjanjian dan malah berbalik menuduh Kreditur (orang yang memberi pinjam mengada-ada, maka dalam hal seperti ini Kreditur akan sulit membuktikan adanya perjanjian hutang piutang dengan resiko uangnya hilang.

Kecuali jika ada saksi yang melihat atau mengetahui perjanjian utang piutang itu yang bisa digunakan kesaksiannya sebagai bukti. Tapi dalam pembuktian hukum perdata yang paling utama adalah bukti surat, adapun saksi digunakan jika bukti surat (bukti tertulis) tidak ada (lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 164 HIR/Herzien Inlandsch Reglement).

Namun pembuktian menggunakan saksi ada kelemahannya juga, pertama, alat bukti utama dalam perdata adalah bukti surat, kedua sulit untuk menemukan saksi yang bersangkutan (kalaupun ada saksi) misalnya tak jarang Kreditur kesulitan mencari saksinya, karena saksi yang bersangkutan sudah pindah rumah dan tak diketahui keberadaannya atau karena saksi ini sudah meninggal dunia sehingga keterangan saksi sebagai bukti sebetulnya tidak cukup bisa diandalkan.

Di masyarakat tak jarang ditemukan perjanjian utang piutang tanpa dibuatkan perjanjian tertulis. Padahal jumlah uang yang jadi objek pinjam-meminjam bisa dikatakan cukup besar.

Kalau untuk pinjam meminjam dalam jumlah kecil misal Rp. 5000,- atau Rp. 10.000,- mungkin masih bisa dilakukan tanpa harus ada perjanjian tertulis/bukti tertulis. Tapi jika nominalnya sudah ratusan ribu apalagi jutaan, seharusnya dibuat dengan perjanjian tertulis dan harus ada saksinya.

Kesimpulan, Pertama, perjanjian utang piutang walaupun bisa dibuat lisan sebaiknya tetap dibuat secara tertulis. Tujuannya untuk menjamin kepastian hukum dan memudahkan dalam membuktikan adanya peristiwa utang piutang.

Kedua, perjanjian utang piutang bisa dibuat dengan akta di bawah tangan (Pasal 1867 KUHPerdata) yaitu para pihak membuat sendiri perjanjiannya dan ditandatangani bersama, biasanya mencantumkan pula tanda tangan saksi-saksinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun