Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bela Negara Virtual, Mungkinkah?

3 Oktober 2020   16:12 Diperbarui: 2 Juni 2021   09:55 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bela Negara Virtual, Mungkinkah? | teropongsenayan.com

Perdebatan panas selalu muncul berkaitan dengan berbagai upaya mengatur dunia maya. Kasus Vanuatu memunculkan ide mengatur perilaku warganet Indonesia di dunia maya atau bela negara di dunia maya melalui kebijakan, misalnya disebut, bela negara virtual. Mungkinkah kebijakan ini dilakukan? Ini juga berkaitan dengan isu-isu rahasia negara, data pribadi warga negara Indonesia, dan sebagainya.

Secara umum dan sederhana, menurut saya, ada setidaknya tiga pendekatan yang bisa dipakai untuk melihat perlu atau tidaknya negara mengatur ruang siber (cyberspace). 

Pandangan pertama menjelaskan lewat pertanyaan-pertanyaan, misalnya: mungkinkah bela negara diterapkan di dunia maya (cyberspace)? Bisakah negara 'hadir' di antara warganet atau netizen? Sejauh mana nilai-nilai kemanusiaan bisa melandasi perilaku virtual masyarakat Indonesia? Pandangan ini cenderung menyetujui kemungkinan bela negara virtual dengan resiko penentangan atau protes keras dari warganet.

Baca juga: Pangkalnya Pendidikan Pancasila, Ujungnya Bela Negara

Pendapat kedua menegaskan bahwa semua pertanyaan itu tidak mungkin dilakukan atas dasar karakteristik internet yang bebas dari otoritas negara. Internet merupakan representasi atau simbol penentangan berbagai aktor non-negara terhadap otoritas dan kekuasaaan negara. 

Lalu, betulkah perilaku ber-internet itu bebas sebebas-bebasnya? Apakah negara dilarang keras 'hadir' untuk mengatur perilaku virtual warganegara-nya di dunia maya? Di sini, bela negara virtual jelas-jelas tidak mungkin diselenggarakan.

Ketiga, pandangan yang mempertimbangkan kehadiran negara sebagai regulator dalam dunia maya. Ada wilayah-wilayah di dunia maya yang berada di dalam dan di luar otoritas kekuasaan negara. Negara masih dimungkinkan mengatur perilaku warganya di dunia maya. Kasus-kasus pemadaman internet atau listrik pada saat demonstrasi mahasiswa/masyarakat menjadi contohnya.

Ketiga pandangan itu juga terkait dengan kontroversi mengenai perilaku virtual warganet Indonesia terhadap Vanuatu. Dari ketiga pandangan itu, kasus Vanuatu lebih masuk ke pandangan ketiga yang memungkinkan interaksi antara negara dan masyarakat di dunia maya. Interaksi itu diharapkan dapat mengatur warhanet dalam bentuk bela negara virtual. Ada proses tawar-menawar atau partisipasi masyarakat dalam membentuk aturan main mengenai bela negara virtual.

Baca juga: Konsep Bela Negara Dalam Pendidikan Kewarganegaraan

Kecenderungan kebebasan perilaku virtual itu dalam isu Vanuatu adalah bahwa nasionalisme masyarakat Indonesia terpaksa berbuntut pada rasialisme. 'Kemenangan' nasional Indonesia di forum diplomasi PBB terpaksa ternggelam oleh kekalahan dalam prinsip-prinsip kemanusiaan.  Kehebatan diplomat muda menagkis tuduhan Vanuatu di Sidang Umum PBB malah ditingkahi komentar negatif warganet atau netizen Indonesia di akun Instagram @vanuatuislands.

Peristiwa ini sebenarnya menunjukkan beberapa fakta tak terduga. Pertama, komentar negatif bernada rasial itu mencerminkan sengkarut perilaku warganet di dunia maya. Ada kebebasan perilaku warganet Indonesia yang seolah tanpa batas aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun