Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Solusi Hidup "Pintu Berkah" ala Indosiar

6 Desember 2019   09:56 Diperbarui: 6 Desember 2019   10:43 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi pribadi

Komitmen Televisi Indosiar dalam mengedukasi kaum hawa para ibu rumah tangga dan kaum adam bapak rumah tangga lewat program sinetron pintuberkah kiranya patut diacungi jempol. 

Sadar atau tidak, sinetron itu bukan hanya memberikan efek menghibur penontonnya. Pun juga menyelipkan solusi-solusi dalam kehidupan nyata manusia sehari-hari.

Secara pribadi saya juga melihat begitu banyak nilai-nilai edukasi yang samar namun tegas ditonjolkan dalam frame cerita yang menyerupai kisah nyata ini. Ada nilai-nilai tentang 'keikhlasan', nilai-nilai tentang 'adab berumah tangga', nilai-nilai tentang 'kepatuhan terhadap ajaran keyakinan', termasuk juga menyenggol nilai-nilai 'karakter manusia' di dalamnya.

Kesimpulan yang bisa saya pertanggungjawabkan ini saya peroleh pasca menonton satu episode #pintuberkah pada suatu siang yang cerah, kala mood saya sedang bahagia. Meskipun saya lupa judulnya. Namun saya ingat betul jalan ceritanya.

Sepasang suami isteri hidup dalam kebahagiaan yang hakiki. Sang suami merupakan seorang pengusaha kelontong yang kekayaannya di atas rata-rata. Pasutri ini tinggal di rumah mewah yang megah. Sang suami, meskipun kaya raya namun tidak sombong. Ia juga digambarkan sebagai sosok yang rajin beribadah. Begitu juga dengan sang isteri, meski diperisteri oleh seorang yang kaya, namun memiliki keikhlasan hati yang luar biasa. Penuh kesabaran dan sangat mencintai sang suami.

Kebetulan pasutri  ini digambarkan sebagai pasutri yang SAMARA, namun ibu sang isteri atau mertua sang suami tidak menyukai laki-laki pilihan anak perempuannya. Itu terlihat dari karakter peran yang dimainkan tokoh sebagai ibu mertua. Ia digambarkan sebagai sosok yang tegas dan sangat mendominasi. Sang mertua juga senang mencampuri urusan rumah tangga anak perempuannya.

Berulang kali ibu mertua 'menyerang' menantunya lewat kata-kata yang menyakitkan hati juga perbuatan yang merendahkan suami anak perempuannya itu. Namun keduanya tidak goyah, dan tetap digambarkan sebagai anak-anak yang sangat menghormati ibunya.

Sampai satu ketika badai kehidupan pun menghampiri pasutri. Usaha klontong yang dimiliki sang suami terbakar. Pada bagian ini saya rada lupa. Apakah terbakar atau ditipu ya? tapi kita pilih saja kebakaran.

Meskipun itu merupakan bencana yang kejadiannya tak terduga, sang suami yang juga merupakan pemilik dari usaha itu merasa harus bertanggung jawab terhadap nasib karyawanya. Ia pun berniat menjual rumah mewah mereka demi membayar pesangon karyawan yang otomatis ter-PHK akibat bencana kebakaran itu.

Sikap sang isteri memang luar biasa. Ia ikhlas mengiyakan keputusan sang suami, yakni menjual rumah mewah mereka. Bahkan sang isteri mengusulkan agar setelah ini mereka menyewa rumah yang kecil saja. Bukan sekadar itu, sang isteri bahkan mengatakan akan membantu ekonomi keluarga dengan membuka jasa setrika keliling.

Pasutri ini betul-betul memulai semuanya dari nol, ketika mereka pernah merasakan kesempurnaan hidup bernilai 10. Rumah mewah telah berganti menjadi rumah gubuk. Jabatan sebagai pemilik usaha klontong yang makmur telah berganti sebagai penjual batik keliling. Semua itu mereka lakukan penuh keikhlasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun