Mohon tunggu...
Louis Pariama
Louis Pariama Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta

suka baca dan jalan-jalan, menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial, isu perempuan dan anak serta masyarakat dan budaya lokal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Penggerak Itu Tak Lelah Bergerak (1)

30 November 2022   14:35 Diperbarui: 30 November 2022   14:47 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sambil memanggul backpack di pundaknya, perempuan paruh baya itu bergegas menghampiri sepeda motor yang telah siap mengantarnya "naik gunung". Di backpack itu ada laptop, beberapa potong baju ganti dan jas hujan. 

Perlengkapan wajib. Di bagian depan bertengger sebuah karung berisi sejumlah alat tulis dan perlengkapan mandi yang akan dibagikan kepada anak-anak. Dari atas motor, ia memberi beberapa petunjuk kepada perempuan muda yang dipekerjakan untuk merawat Ibunya yang berusia 80 tahun dan sudah setahun ini menggunakan kursi roda. Tak enak rasanya meninggalkan sang ibu, tapi ia harus pergi. Ia harus melakukan tugas yang telah dilakoninya sejak tahun 2019 itu. Mengunjungi sekolah, berjumpa dan mengajar anak serta melatih guru-guru PAUD di sebuah desa di pegunungan, berjarak kurang lebih 70km dari desanya. Nama desa itu Huku Kecil. 

Setiap 3 bulan sekali, ia dan suaminya akan melakukan perjalanan seperti ini. Sepeda motor itu melaju di atas jalan aspal sejauh 36 km lalu kemudian mulai menapakai jalan sulit sejauh 36 km. menyeberangi sungai dengan rakit lalu menembus rimba menanjak hingga tiba di Huku Kecil. Jika cuaca cerah, ia akan tiba di sana setelah 4 jam perjalanan. Namun, jika hujan dan air sungai meluap maka ia baru akan tiba di sana setelah sekitar 6 jam.

Perempuan paruh baya itu bernama Irene Cornelia (54 tahun), biasa disapa Iren. Ia adalah pendiri Yayasan Pelangi Asih. Sebuah Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial kemanusiaan. Kini ia menjabat sebagai Kepala PAUD Pelangi Asih Tihulale, satu dari 6 PAUD Pelangi Asih yang didirikannya sejak tahun 2011 silam. 

Tihulale adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Amalatu, kabupaten Seram Bagian Barat, provinsi Maluku. Desa kecil di Pulau Seram, yang rata-rata penduduknya bekerja sebagai petani itu terletak di pesisir pantai dan dilewati jalur trans Seram. Walaupun menetap di Tihulale, Iren rutin melakukan perjalanan ke desa-desa tempat di mana PAUD Pelangi Asih berada. Desa-desa itu tersebar di 3 kecamatan berbeda di Kabupaten Seram Bagian Barat, yakni Huku Kecil di Kecamatan Elpaputih, Nuruwe dan Waisarissa di Kecamatan Kairatu Barat, serta Kaibobo di Kecamatan Seram Barat. Pagi itu, ia mengunjungi Huku Kecil, "negeri di atas awan" desa paling jauh dan paling sulit dijangkau. Biaya perjalanan pun tidak murah. Ia harus membayar 1 juta rupiah untuk biaya ojek pulang pergi. Ia rutin ke sana setiap 3 bulan.

Iren rela melakukan hal itu, karena ia ingin PAUD-PAUD di bawah yayasannya menjadi sekolah yang berkualitas, walaupun berada di desa kecil bahkan terpencil. Dalam setiap kunjungan ia akan mengambil kesempatan untuk mengajar dan kemudian memberikan pelatihan kepada guru-guru. Guru-guru yang terdiri dari para perempuan muda itu tidak ada yang berlatar belakang pendidikan guru PAUD. Umumnya tamatan SMP dan SMA/sederajat, dan kalaupun ada sarjana, bukan sarjana pendidikan dan tak punya pengalaman mengajar. Hanya bermodal kecintaan pada anak. Tapi kecintaan pada anak menjadi syarat utama bagi Iren. Tak ada Sarjana PAUD di desanya. Walau begitu, ia sadar betul bahwa guru PAUD harus memiliki kompetensi. Kompetensi guru akan berdampak terhadap kualitas guru dan hasilnya nampak dalam perubahan karakter anak dan menimbulkan antusiasme orang tua untuk menyekolahkan anak di PAUD.

Iren sendiri bukan seorang sarjana PAUD. Ia tidak pernah mengecap pendidikan guru. Keterlibatannya dalam dunia pendidikan anak usia dini tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Walau dulu ia pernah bercita-cita menjadi seorang guru, mengikuti jejak kedua orangtuanya, cita-cita itu telah dilupakan sejak ia memutuskan untuk kuliah di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas Pattimura, Ambon. Setamat kuliah, ia kemudian hijrah ke Jakarta. Perkenalannya dengan dunia pendidikan anak dimulai tahun 2003, tanpa disengaja. 

Kala itu, Sanggar Bina Balita GPIB Markus tempat putri ke-duanya bersekolah, melakukan kunjungan ke kebun binatang Ragunan. Iren, bersama para orangtua lainnya ikut mendampingi anak-anak mereka. Tanpa direncanakan, dalam kunjungan itu Iren yang melihat anak-anak dibiarkan melihat binatang-binatang di sana tanpa bimbingan guru berinisiatif untuk memandu anak-anak. Ia menjelaskan tentang setiap binatang yang mereka jumpai dengan cara yang sangat komunikatif. Ia menyebutkan nama binatang dan mengajak anak untuk menghitung jumlah kaki, menyebut warna binatang-binatang itu, dan sebagainya. Anak-anak senang, ia pun senang. 

Rupanya, tanpa ia sadari apa yang dilakukannya menarik perhatian pimpinan sanggar balita tersebut. Segera setelah beranjak dari kebun binatang Ragunan, ia diminta untuk menuliskan lamaran ke Sanggar Bina Balita yang berada di bilangan Jakarta Selatan tersebut. Ia pun mengikuti saran itu, tanpa membayangkan apa yang akan terjadi. Ternyata ia diterima untuk mengajar dan ditugaskan untuk menangani anak usia 2-3 tahun. Sejak itulah Iren menjalani tugas barunya sebagai seorang guru. Setiap hari dengan sukacita ia melakuan perjalanan dari rumahnya di Cibubur (Jakarta Timur) ke Cilandak (Jakarta Selatan) untuk mengajar. Pekerjaan itu dilakoninya sebagai sebuah pelayanan.

Seiring berjalannya waktu kemampuan mengajar Iren diasah. Ia sendiri tak mengerti, dari mana teknik mengajar yang dimilikinya. "Mungkin itu yang namanya otodidak", ujarnya sambil tertawa. Ia kemudian menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini, lalu berinisiatif membuka sanggar bina balita di gereja tempatnya berjemaat, 3 tahun kemudian. Ia mengajak Guru-guru Sekolah Minggu untuk mengajar. Rumah kontrakan miliknya disulap menjadi tempat belajar.

Sayangnya, pada tahun 2007, Sanggar Bina Balita Markus ditutup. Tapi Iren terlanjur jatuh cinta pada dunia anak. Rasanya sulit untuk meninggalkan dunia itu. Maka ia dan suaminya kemudian membuat Yayasan agar dapat menaungi Sanggar Bina Balita Pelangi Asih yang telah didirikannya di Cibubur. Ia kemudian membuka PAUD Pelangi Asih di Cilandak, menggantikan kehadiran Sanggar Bina Balita Markus yang telah ditutup itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun