Musim tanam tiba di lereng pegunungan, udara masih dingin di pagi hari, embun melekat di daun padi yang baru ditebar. Anak-anak ikut bergelung dalam kabut pagi sambil membawa cangkul kecil, perempuan membawa anyaman bambu berisi nasi liwet dan sayur tempoyak sebagai bekal.Â
Di ladang-ladang Pakpak, suasana demikian bukan hanya soal menanam padi darat --- namun tentang kebersamaan, doa, dan penghidupan bersama yang dinamakan Mardang.
Di tengah kenyataan bahwa ketahanan pangan di Indonesia dan dunia semakin terancam oleh perubahan iklim, krisis distribusi, kenaikan biaya pupuk, dan hilangnya lahan pertanian yang subur, "Mardang" tampil sebagai sebuah kearifan lokal yang punya relevansi mendalam.Â
Tradisi yang melibatkan laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan anak-anak ini bukan sekadar ritual budaya, tetapi juga mekanisme sosial yang selama puluhan hingga ratusan tahun menyokong keberlangsungan pangan di komunitas Pakpak.Â
Artikel ini mencoba menggali makna Mardang, bagaimana tradisi itu bekerja dalam sistem pertanian tradisional Pakpak, serta potensinya sebagai bagian dari solusi dalam masa krisis ketahanan pangan modern.
Masa lalu dan hakekat Mardang: Lahan, doa, dan kebersamaan
Di suku Pakpak, Mardang bukan hanya gotong royong biasa. Ia bermula dari pengolahan tanah, penanaman padi darat, dilakukan bersama-sama sanak famili, tetangga, anak-anak, perempuan dan laki-laki penuh tanggung jawab.Â
Ritual adat selalu mendahului: doa untuk hujan yang cukup, tanah yang subur, minta perlindungan dari hama dan cuaca buruk. Setelah bekerja, pemilik lahan akan menyediakan makanan khas sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap sesama yang ikut serta.
Keterlibatan lintas usia dan gender di acara Mardang memiliki fungsi ganda. Fungsinya sosial: mempererat ikatan antar keluarga dan antar tetangga, memperkuat rasa saling memiliki dan saling bantu.Â
Fungsinya praktis: beban kerja yang berat jadi ringan, masa tanam lebih cepat selesai dengan usaha bersama.
Walau belum banyak dibukukan secara sistematis dalam literatur akademik, butir-butir nilai ini jelas mirip dengan apa yang dikaji dalam kajian ketahanan pangan: bukan hanya kuantitas produksi, tetapi juga kapasitas komunitas untuk bertahan, mengorganisasi diri dalam kondisi sulit, mempertahankan kearifan lokal sebagai modal sosial.