Ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan keberhasilan kesepakatan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa pada pertengahan Juli 2025, sebagian besar publik menyambutnya dengan nada positif.Â
Setelah 10 tahun negosiasi penuh liku, CEPA seakan menjadi batu loncatan yang menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya siap menjadi bagian dari arus perdagangan global, tetapi juga siap merancang ulang cetak biru hubungan ekonominya dengan blok-blok besar dunia.Â
Namun, di balik tepuk tangan dan semangat membuka pasar baru, ada satu isu mendalam yang justru masih membekas di benak banyak pihak: bagaimana sebenarnya CEPA menegosiasikan persoalan lingkungan dan ekstraksi sumber daya alam?
Isu ini jauh dari permukaan narasi ekonomi formal. Ia tidak populer, bahkan di kalangan perumus kebijakan sendiri. Tapi ia mendesak untuk ditanyakan.Â
Apakah perjanjian sebesar CEPA hanya akan membuka jalan bagi arus ekspor dan investasi dari Eropa? Atau sebaliknya, apakah ia mampu menjadi jembatan etis untuk membawa praktik lingkungan yang lebih bertanggung jawab dan adil---bukan hanya untuk pasar global, tapi juga bagi masyarakat lokal Indonesia yang selama ini paling terdampak oleh aktivitas ekstraktif?
Seperti umumnya yang terjadi dalam perjanjian internasional, ada hal-hal yang terdengar sangat menjanjikan di meja diplomasi, tetapi bisa terasa hambar atau bahkan menyakitkan ketika diimplementasikan di lapangan.Â
Dalam konteks CEPA, isu lingkungan dan ekstraksi adalah ruang tarik menarik yang sensitif. Di satu sisi, Eropa membawa bendera besar bernama Green Deal. Mereka ingin memastikan bahwa produk-produk yang masuk ke wilayah mereka---mulai dari sawit, kopi, hingga nikel---adalah produk yang "hijau", bebas dari deforestasi, ramah iklim, dan tidak merusak kehidupan sosial masyarakat adat.Â
Di sisi lain, Indonesia melihat tekanan ini sebagai upaya yang, meski punya niat baik, tetap menyimpan nada dominasi atas kedaulatan negara berkembang yang sedang berusaha membangun diri lewat eksploitasi sumber daya yang sah dan legal di dalam negeri.
Antara Standar Global dan Realitas Lokal
Pertanyaan paling krusial dalam CEPA sebenarnya bukan sekadar siapa yang akan mendapat tarif nol persen atau sektor mana yang akan tumbuh lebih cepat. Pertanyaan utamanya adalah: bagaimana standar lingkungan yang ditetapkan Eropa, terutama lewat EU Deforestation Regulation (EUDR) dan kebijakan terkait Green Deal, akan diadaptasi ke dalam konteks Indonesia yang begitu kompleks dan beragam?
Dalam teks CEPA dan semua turunan teknisnya, Eropa bersikukuh bahwa semua produk pertanian atau bahan mentah yang masuk ke pasar mereka harus dapat dilacak---dari mana asalnya, bagaimana proses produksinya, dan apakah proses itu melibatkan deforestasi, penggusuran masyarakat adat, atau pelanggaran hukum lingkungan.Â