Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Otonomi Aceh di Persimpangan Jalan: Membaca Ulang Intervensi Pusat dalam Sengketa Empat Pulau

12 Juni 2025   17:20 Diperbarui: 12 Juni 2025   17:20 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empat pulau Aceh yang disengketakan (Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek). Sumber Gambar: TEMPO.CO

Otonomi Aceh di Persimpangan Jalan: Membaca Ulang Intervensi Pusat dalam Sengketa Empat Pulau

 Oleh: Julianda BM


Ketika Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 diteken pada 25 April lalu, banyak yang mengira ini hanya soal teknis administrasi belaka. Empat pulau kecil --- Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil --- yang selama ini diklaim sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, resmi masuk ke dalam wilayah administratif Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. 

Namun, di balik peta dan kode wilayah yang diubah, menganga luka yang lebih dalam: pertanyaan tentang makna otonomi Aceh di mata negara.

Polemik ini bukan sekadar tarik-menarik antara dua daerah bertetangga. Ia menyentuh langsung jantung dari semangat otonomi khusus (Otsus) yang diberikan kepada Aceh pasca-konflik berkepanjangan, yang berakhir secara resmi lewat Perjanjian Helsinki 2005. Maka wajar bila sebagian masyarakat Aceh melihat keputusan ini bukan sekadar "soal empat pulau", tapi bagian dari gejala yang lebih luas: intervensi pusat yang terus membayangi otonomi Aceh.

Otonomi Khusus: Antara Janji dan Kenyataan

Otonomi Khusus Aceh bukanlah hadiah biasa. Ia lahir dari sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh, darah dan air mata yang tak terhitung, serta harapan besar akan pengakuan dan penghormatan terhadap kekhususan daerah. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadi wujud konkret dari janji negara terhadap Aceh --- termasuk hak mengelola wilayah, sumber daya, hingga menyusun peraturan sendiri yang sesuai dengan kekhasan lokal.

Namun seperti banyak janji lainnya, pelaksanaan Otsus Aceh kerap tidak seindah teks undang-undang. Sengketa empat pulau ini menjadi contoh terbaru bagaimana otonomi yang dijanjikan sering kali tak lebih dari prosedur administratif yang bisa diabaikan, bila tak sejalan dengan kehendak pusat.

Dikutip dari triaspolitica.net (12/06/2025), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil setelah proses panjang dan melibatkan banyak instansi pusat seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (untuk batas laut), dan Topografi TNI AD (untuk batas darat). Tito menambahkan bahwa pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung bahkan sebelum ia menjabat sebagai Mendagri.

Namun penjelasan itu tak serta merta menenangkan pihak Aceh. Justru muncul pertanyaan: mengapa Pemerintah Aceh seolah tidak memiliki posisi tawar dalam proses tersebut? Mengapa tak ada mekanisme konsultasi atau keberatan yang efektif dari daerah sebelum keputusan ditetapkan?

Dalam keterangan Mendagri, disebut bahwa batas darat sudah disepakati, tetapi batas laut tidak pernah mencapai kesepakatan, sehingga pemerintah pusat mengambil alih keputusan. Ini menunjukkan bahwa saat titik temu tidak dicapai, daerah otomatis kehilangan suara --- seakan mekanisme Otsus berhenti bekerja dalam urusan strategis seperti batas wilayah.

Apakah keputusan ini sepenuhnya teknis dan berdasarkan data geografis semata? Atau adakah dimensi politik yang perlu dibaca lebih cermat? Dalam konteks Aceh, yang memiliki sejarah konflik dan otonomi khusus, setiap keputusan pusat yang menyentuh teritorial harus dibaca bukan hanya sebagai keputusan administratif, tapi juga simbolik dan politis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun