Menopause: Saat Perempuan Diharapkan Diam Padahal Tubuhnya Sedang Bersuara
Oleh: Julianda BM
Bukan soal berhentinya menstruasi, tapi tentang bagaimana budaya sering membungkam kisah perempuan yang sedang bertumbuh---bukan menua.
Menopause. Satu kata yang masih terasa asing di banyak ruang obrolan, padahal semua perempuan yang hidup cukup lama pasti akan melaluinya. Namun entah mengapa, topik ini seperti jadi hantu: nyata tapi jarang disebut-sebut.
Menopause sering kali hanya dipahami sebatas perubahan biologis. Padahal, lebih dari itu, ia adalah transformasi identitas. Sayangnya, budaya kita lebih memilih diam, sementara tubuh perempuan sedang bersuara---lantang, tapi sunyi.
Menopause kerap dimaknai sebagai akhir dari "masa muda", dan lebih dari itu, akhir dari "masa guna". Perempuan dianggap sudah tidak lagi menarik, tidak bisa hamil, tidak produktif, dan akhirnya... tidak penting. Padahal, perubahan yang dialami jauh lebih dalam dari sekadar haid yang berhenti.
Tubuh mungkin tak lagi sibuk dengan siklus bulanan, tapi pikiran perempuan justru makin tajam. Ia lebih sadar akan waktu, makna hidup, dan keberadaannya sendiri. Namun, ruang sosial dan budaya tidak selalu mendukung kesadaran itu. Justru banyak perempuan merasa kehilangan jati diri karena stigma yang ditempelkan.
Kenapa Kita Malu Bicara Menopause?
Salah satu alasan besarnya adalah karena menopause sering dianggap sebagai simbol "kelemahan". Lihat saja di ruang-ruang keluarga: adakah obrolan tentang hot flashes, insomnia, atau mood swing saat ngumpul bareng? Hampir tidak ada.
Perempuan yang mengalami perimenopause atau menopause justru sering dikira "baper", "cepat marah", atau bahkan "mulai aneh". Tak jarang malah dibilang kerasukan atau kurang ibadah. Alih-alih didampingi, mereka disalahpahami.
Ini bukan soal pendidikan saja. Ini soal keberanian kolektif untuk menyuarakan perubahan yang wajar. Karena bagaimana mungkin kita bisa paham, kalau kita bahkan tak pernah membicarakannya?
Menopause seharusnya bisa dirayakan layaknya fase hidup penting lainnya. Di banyak budaya kuno, perempuan yang sudah menopause justru dianggap sebagai penjaga kebijaksanaan, karena sudah melewati semua siklus hidup perempuan: anak, remaja, ibu, hingga akhirnya---penasehat.
Bukan berarti tak ada tantangan. Tapi bagaimana jika tantangan itu dibicarakan bersama? Apa jadinya jika ada ruang terbuka di komunitas kita untuk membahas menopause seperti kita membahas parenting atau skincare?