Mohon tunggu...
Lori Mora
Lori Mora Mohon Tunggu... -

Menulis adalah dua kali lipat dari belajar...\r\n#columnist pemula \r\n#pekerja\r\n#observer\r\n#pelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Joe, Si Anak Zaman, Hidup di Balik Irama Lagu yang Memilukan

21 April 2013   18:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:50 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_249044" align="aligncenter" width="383" caption="Anak Jalanan Simpang Pos"][/caption]

Tak luput jua pikirku pada sosok-sosok anak manusia yang hanya saja kurang beruntung hidup diatas bumi dibawah langit ini. Keramahan, kejujuran dan rasa persahabatan mereka melekat erat dalam ingatanku yang telah mereka ikat kuat sebagai kenangan atas hari terindah yang tercatat sebelumnya dikertas-kertas kehidupan sang khalik. Adalah sebuah rasa syukur terbesar dalam segenap hidupku ketika harus bersentuhan secara langsung dengan sisi kehidupan lain, nyata, terasingdan keras itu.

Anak-anak jalanan, kumpulan para tukang ngamen di lampu-lampu merah jalan raya. Mereka semakin menambahkan dalam jiwaku rasa ingin tahu yang lebih besar lagi baik pribadi mereka dalam keluarga dan perjalanan hidup yang tampak keras dan menantang itu. Maksudku menantang serupa dengan mempertaruhkan nyawa. Mengapa tidak, kehidupan mereka dipenuhi dengan kerja keras. Hidup hanya sebatas dapat dan tak dapat uang hasil ngamen. Selainnya tak lagi ada sumber yang lain.

[caption id="attachment_249046" align="aligncenter" width="376" caption="Kami dan Mereka di Tepian Lampu Merah Bundaran"]

13665448591238192105
13665448591238192105
[/caption]

Sesaat kami menghampiri mereka yang duduk di bundaran jalan raya, dengan sapaan ramah mereka menyambut kami. Seolah-olah mereka memperlakukannya seperti sahabat-teman-kawan. Sebagai seorang yang ingin mencoba mengambil perhatian, kami balas sambutan itu dengan berlagak kenal dengan anak-anak itu. Rasanya menyenangkan, jalinan komunikasi semakin hangat, mereka tak liar, tak kasar, dan tak anarki. Mereka lembut dan penuh persahabatan, namun sayang mereka anak zaman yang terabaikan oleh kasih sayang. Tak lama berselang kami sudah saling mengenal, saling bercerita dan berbaur dengan mereka adalah sebuah rasa yang pada awalnya penuh dengan keragu-raguan tapi tidak dengan yang kami rasakan kali itu.

Dilengkapi dengan senjata andalan mereka-gitar dan jimbe kecil, kami minta untuk sama-sama bernyanyi dan mereka mengiyakan. Sejurus kemudian, kami minta untuk bernyanyi bersama dengan mereka, mengamen diangkutan umum, ditengah-tengah kota yang penuh dengan hiruk pikuk itu. Betapa tulusnya hati keempat anak itu.

Tak lama kemudian seorang anak lelaki datang bergabung, kuperhatikan seperti terasing dan penyepi yang malang. Dia tampak lusuh dan kisut. Ku ajak dia bersama, bercerita sambil kami bagi-bagikan permen lollipop berbentuk hati itu kepada mereka sembari duduk dipinggiran bundaran. Gumamku dalam hati,,”inilah kehidupan anak zaman. Harus berani menghadang hari. Mencari tanpa terlalu banyak berharap dan terus hidup..”

[caption id="attachment_249048" align="aligncenter" width="358" caption="Kami dan Joe"]

13665449831840276890
13665449831840276890
[/caption]

Dia adalah Joe, anak lelaki yang baru saja ku kenal. Joe yang kecil dan tampak hitam terbakar menyudutkan diri pada awalnya. Namun ku tau bahwa dia hanya sedikit tak berani. Kuajak juga dia bercerita. Dengan gelagat seperti wartawan, aku tancapkan pertanyaan demi pertanyaan kepadanya. Awalnya dia tak jujur, tapi ketika kugali dan semakin kugali, dia buka hatinya untuk mau berbagi. Keprihatinanku padanya tak dapat kubendung. Ketika ku tau dia adalah seorang anak yang berasal dari keluarga broken home. Ketika dengan kata-katanya meyakinkanku bahwa dia adalah pribadi yang sebenarnya tulus dan jujur. Dan curahan demi curahan telah membanjiri pengetahuanku tentang anak manusia. Ku tau kini bahwa dia adalah seorang Joe, si anak zaman yang diabaikan kehidupan, diabaikan orang-orang tersayang dan diabaikan masa depan. Joe anak korban ujian nasional yang tak lulus dan memutuskan untuk tidak bersekolah lagi sejak ketidaklulusannya dari kelas 6-SD di lima tahun silam. Joe yang malu-malu mau menatapku dengan berani, joe yang sudah mulai mempercayakan cerita dan detail kehidupannya itu adalah seorang broken home, putus sekolah, dan pramuwisma.

Jiwaku bergetar, membatin “betapa malangnya anak bangsa yang dilahirkan ditengah dunia penuh gegap gempita dan keglamoran ini? Betapa sadisnya bumi dan langit mempertontonkan cerita penuh peluh ini dalam layar kehidupan?”

Sedang anak yang lain kudapati pun sama dengannya. Mereka sepertinya adalah anak-anak cerdas, hanya sayang mereka tak lagi dapat mengasah isi otaknya karena sudah terlalu lama tumpul dan sulit untuk ditajamkan. Kondisi putus sekolahnya mereka merupakan cambuk bagiku, alasannya adalah selain seperti kasus Joe, ada yang lain berkata bahwa trauma dengan sekolah karena sering dipukul oleh guru, ada pula dengan alasan ngak enak dan membosankan serta yang lain berkata tak ada uang. Inikah potret dunia pendidikan anak bangsa?

Ketika aku mencoba untuk berbagi bagaimana harus menghidupi kehidupan, mereka pahami itu dan mengangguk-angguk tanda berterima. Aku jadi ingin tahu entahkah mereka sesunggguhnya adalah anak zaman yang cerdas dan harusnya layak disekolahkan dan mendapat pendidikan dan wajib belajar? Ketika cerita lain bergulir, bagaimana bila sewaktu-waktu pamong sedang berpatroli dijalan raya, tak satu atau dua kali joe dan kawan-kawan tertangkap dan diboyong kekantor lalu ditahan. Mereka sudah mengalaminya berulang kali. Tapi tak juga jera mereka untuk menghibur sembari mencari uang makan hari kesehari.

Joe bertutur katanya “Pamong” bengis dan kejam berlaku terhadap mereka. Katanya tak jarang mereka memukuli bukannya memberi konseling. Apa yang terjadi? Adakah kesalahan terhadap mereka bila kehidupan menunjuk jalan hidup sebagai pengamen? Padahal Joe jelas-jelas mengakui bahwa hidup menjadi seorang “Pengamen” adalah hal yang paling mengerikan. “Hidup disini keras, harus tau jaga diri” tukasnya sambil menunduk. Lalu apakah tindakan pamong itu benar?Apakah sebuah kekerasan dapat menyelesaikan masalah dan persoalan seperti persoalan Joe yang tak lagi pernah diisi dengan nasihat dan perhatian khusus? Kurasa kita sudah kehilangan belas kasihan dan kurang belajar bagaimana memperlakukan seseorang agar mau diubahkan kearah yang lebih baik.

[caption id="attachment_249049" align="aligncenter" width="300" caption="Kami dan Anak Jalanan Simpang Pos, Medan"]

13665453091413609677
13665453091413609677
[/caption]

Sayang sekali, kecerdasan yang terlihat lewat cara pandang dan tutur mereka belum terjamah hingga saat ini. Mereka belum jua mendapat belas kasihan dari mereka yang dikasihi, belum jua memahami kebutuhan dan keinginan mereka, dan mungkin masih terlalu muda untuk mengerti akan arti hidup dan mereka adalah anak zaman yang masih menanam trauma-trauma batin yang dalam baik dari pelaksanaan UN, kondisi keluarga, perlakuan guru terhadap murid, dan perlakuan aparat terhadap orang-orang yang terpaksa hidup dari menyuarakan lagu-lagu kehidupan dengan perut yang masih tak menentu sudah diisi atau tidak. Aku tertengun, pilu dan berdoa semoga masih ada hati dan uluran tangan yang terbuka untuk mau berbagi rezeki dengan mereka. Hanya rasa syukur diiringi doa yang terucap bagi Joe, dan anak-anak jalanan zaman ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun